by Hikaru Kin
Disclaimer: Naruto©Masashi Kishimoto
Akatsuki Airlines©Hikaru Kin
Rate: T
Genre: Humor & Parody, slight Friendship
Warning: AU, OOC, Typo, gaje, dll
Summary: Akatsuki punya perusahaan penerbangan?
Mungkin ga? Bagaimana kalau dalam sebuah pesawat, Akatsuki
jadi awak pesawatnya dan Naruto CS penumpangnya?
Bagaimana kehebohannya?
Ini adalah sebuah kisah tentang para anggota Akatsuki
yang tergabung dalam 'Akatsuki Airlines'.
•
•
Arigatou kepada: Zoroutecchi, Yusei'Uzumaki'Fudo,
Deidei Rinnepero 13 gaklogin, Kyuu9, Deidara Katsu,
Kara kuru koro kora-kora, vialesana, Py Akasuna, And
All silent readers. ^^
•
•
•
DON'T LIKE, DON'T READ!
HAPPY READING!
••
Chapter 2
•••
Konoha, xx-xx-xxxx; 04:30 AM
Hari pertama pelatihan awak kabin…
"Hoi… ayo bangun! Cepat! Hap… hap… hap!" teriak Pein, sembari menepuk-nepuk kedua tangannya. Padahal, jam masih menunjukkan pukul 04:30 pagi waktu setempat. Entah sejak kapan, ia bangun lebih awal dari hari-hari biasanya. Kalau ingin tahu alasannya, mari author jelaskan.
Jadi, sesuai perjanjian yang telah disetujui oleh pihak KHS melalui Tsunade—selaku kepala sekolah, bahwa, pada saat tour nanti mereka telah merekomendasikan Akatsuki Air sebagai transportasi menuju Ottogakure. Mulai hari ini, Pein akan melatih para anggota Akatsuki demi kenyamanan dan keamanan penumpang Akatsuki Air. Dan ya, sebagaimana kita ketahui, kini Pein tengah berusaha membangunkan anak buahnya. Kan tidak lucu kalau membangunkan cucu buahnya.
Hari ini, Pein tampak sangat bersemangat. Lihat saja, tak biasanya ia bangun seawal ini bahkan sudah mandi pula.
"Ngh… apaan sih teriak-teriak," gumam Sasori setengah sadar. Setengah sadar yang dimaksud bukannya gila, loh. Mana author tega bikin Nii-chan sendiri jadi orang gila. *dibakar Sasori FC*
"Ya ampun, Sasori! Tentu saja membangunkan kalian!" ucap Pein sweatdrop. Dia sih kesal saja, sudah bela-belain bangun pagi demi membangunkan mereka semua. Tapi, ya begitulah. Usahanya tak dihargai sedikit pun. Kalau digambarkan suasana saat ini begitu memalukan. Lihat saja para anggota Akatsuki ini, tidur saja sudah seperti kebo. Posisinya aneh-aneh pula. Ada yang tengkurep, kaki di kepala dan kepala di kaki, bahkan nyungsep ke kolong tempat tidur. Sungguh aneh tapi memang kenyataan yang sungguh sulit dibayangkan.
"Ng… sudah pagi ya, senpai?" Okay, pertanyaan yang satu ini sunggguh-sungguh polos. Bahkan kelewat polos. Ah, Tobi anak baek lah sang empunya alasan.
Pein menggertakkan gigi-giginya, mengepal erat kedua telapak tangannya.
"Grrrr… AKU BILANG CEPAT BANGUN!" teriak Pein. Mendengar teriakan Pein yang kelewat keras dari suara toa, sontak semuanya kaget dan lari terbirit-birit keluar dari kamar tidurnya masing-masing. Jangankan mereka, ayam yang hendak berkokok pun kaget dan mati di tempat. Baiklah, yang ini terkesan berlebihan. Ah, dasar ayam jaman sekarang.
…oOo…oOo…oOo…
Semuanya kini tengah berkumpul di halaman markas Akatsuki yang bisa dibilang luas. Kenapa? Bukannya selama ini markas Akatsuki itu kecil, kumal, kucel, jelek, reot dan yang pasti tidak luas? Kenapa sekarang jadi besar, bahkan setiap ruangan saja ada sofa empuknya? Jawabannya sangatlah mudah, intinya Akatsuki mendapat rezeki yang berlimpah alias rejeki nomplok. Karena bingung uangnya mau di apakan, kalau dikasih semuanya ke Kakuzu pasti akan menjadi hak miliknya sendiri. Jadi, semuanya sepakat untuk membuat usaha sampingan yaitu mendirikan Akatsuki Airlines dan memperbaiki markas mereka yang sudah tak layak pakai itu. Dan bim salabim, jadilah seperti saat ini.
Di tengah halaman yang luas itu, para anggota Akatsuki a.k.a calon awak pesawat Akatsuki Air *masih calon loh* tampak berbaris rapi. Mereka menggunakan setelan pakaian yang berbeda dari biasanya. Mereka tampak mengenakan celana training/celana olahraga dan kaos lengan pendek. Dilihat dari pakaiannya, sudah jelas mereka akan berolahraga. Meskipun sang surya masih malu-malu menampakkan sinarnya untuk menemani, Pein tetap bersikeras menyuruh anggota lain beranjak keluar. Sesuai jadwal yang sudah disusun, kegiatan pertama hari ini ialah olahraga pagi. Terlihat Pein tengah memimpin pemanasan.
"Baiklah semuanya! Sebelum kita jogging, ada baiknya kita pemanasan terlebih dahulu," ucapnya.
"Yaah…" tampak yang lain mengeluh tak setuju, kecuali Tobi yang entah kenapa mengacungkan jari telunjuknya.
"Eng… senpai!" panggil Tobi. Yang lain menoleh ke arahnya.
"Ada apa, Tobi?" Pein menaikkan sebelah alisnya.
"Jangan bilang kau akan mengatakan, 'Senpai, buat apa kita pemanasan? Nanti keringetan loh! Udah gitu, ini kan masih jam lima pagi, mataharinya belum timbul.' Iya kan, un?" cerocos Deidara.
Tobi tersentak. "Eh? Kok senpai tahu?" tanya Tobi bingung pikirannya bisa ditebak oleh Deidara.
"Ya ampun, un! Kau ini kan kalau ngomong paling tidak nyambung dan kalau nanya paling tidak bermutu, un!"
"Masa, sih?" Tobi menaikkan sebelah alisnya. Tak lama ia tersenyum,"Wah… ternyata Dei-senpai memperhatikan Tobi terus, ya? Jangan-jangan Dei-senpai nge-fan sama Tobi! Hayo, ngaku!" goda Tobi.
"Hello… Yang benar saja, un! Deidara nge-fans sama bocah authis dan Uchiha teraneh tiada duanya? OMG! Sampe Kakuzu rela ngasih semua uangnya buat beli krim anti keriput Itachi, juga ga bakal deh aku nge-fans sama kamu, un!" elak Deidara. Mendengar klan Uchiha disebutkan dan juga bawa-bawa keriput, Itachi langsung memasang deathglare mautnya. Sementara Kakuzu sibuk memeluk koper-koper berisi uang miliknya, yang entah sejak kapan sudah berada di dalam dekapannya.
"Woy, Dei! Marah sih marah! Tapi, ga bawa-bawa keriput juga kali!" Itachi kesal. Dengan wajah keriputan dan kusut *di Amaterasu Itachi* ia memandang Deidara. Deidara sih cuek saja.
"Apaan lihat-lihat? Iri ya lihat aku ga keriputan, un?" ejek Deidara.
"Wah! Pagi-pagi udah ngajak ribut, nih! Ok, sini kalau berani!" tantang Itachi sambil menggulung lengan kiri kaosnya—menantang.
"Ayo! Siapa takut! Nantang, kan? Sini kalau berani!" balas Deidara yang juga menggulung lengan kanan kaosnya—berjalan maju menantang Itachi.
"GRRRR…" geram keduanya saat berhadapan satu sama lain. Saling beradu deathglare. Jika dilihat secara seksama dan dalam tempo yang setepat-tepatnya, menggunakan mikrosko—tunggu, kilatan mata bukan benda renik tapi, tak kasat mata, halah! Maksudnya dengan teropong bintang berkecepatan cahaya lebih cepat dari larinya Sena Eyeshield 21(?), maka akan terlihat kilatan petir diantara kedua Onyx dan Aquamarine tersebut.
"Popcorn! Checklist! Softdrink! Checklist! Kursi! Checklist! Lanjut berantem!" celetuk Pein yang sekarang—entah kenapa dan dari mana—duduk bersantai di atas kursi malas.
"Hei, sudah-sudah. Sesama kakek-kakek dilarang berantem, senpai! Entar encok baru tahu rasa, loh!" lerai Tobi tepat di depan keduanya.
"WOY! YANG KAKEK-KAKEK ITU KAMU, TOBI(UN)!" pekik Itachi dan Deidara bersamaan. Hujan lokal melanda wajah Tobi yang—untungnya— terlindung topeng lollipop.
"Tenang saja, senpai! Ini bukan fic tentang ninja-ninjaan. Lagi pula, wajahku disini mirip Obito, bukan Madara. Jadi, Tobi cuma jadi anak baek dan ga bakal jadi kakeknya Itachi-senpai! Ayey!" ucap Tobi girang seraya membuka topeng lolipopnya. Dan... jeng… jeng… tampaklah wajah Uchiha Obito. Semua yang ada di ruangan tersebut cengo dan terdiam namun tak terpaku kembali, termasuk Author.
"Ah, curang, un!"
"Hei, aku bilang sekarang waktunya untuk pemanasan. Bukan untuk berkelahi, tahu!" geram Pein.
"Gomen, leader!" ucap Itachi.
"OK! Sekarang kita mulai. Baiklah, hitungan dua kali delapan, ya! Dimulai dari Sasori!" perintah Pein.
"Satu… dua… tiga… empat… lima… enam… tujuh… delapan…" hitungan terus berlangsung hingga berakhir di Kisame.
"Yap, cukup pemanasannya. Sekarang keliling lapangan sepuluh kali! Setelah itu baru istirahat," lanjut Pein.
"Hah! Yang benar saja sepuluh kali!" keluh Sasori sambil berlari. Keringat kini telah mengucur membasahi tubuhnya, terlihat dari kaos merah maroon-nya yang mulai basah karena keringatnya itu. Dengan handuk kecil yang dikalungkan pada lehernya, ia menyeka keringat di kedua pelipisnya.
"Ih, bajuku sudah basah lagi!" omel Konan. Keadaan yang lain tidak jauh beda dengan keadaannya, bermandikan keringat. Mau tidak mau, mereka tetap berlari mengikuti perintah Pein. Daripada dimarahin lagi.
"Sepuluh! Hah… hah… hah…" ucap Itachi.
"Jashin-sama! Jangan buat aku sengsara lagi!" lirih Hidan.
"Heh? Kenapa kau, Hidan?" tanya Zetsu hitam.
"Capek, lah!" jawab Hidan ketus.
"Yee! Aku juga capek tahu!" ucap Zetsu putih.
"Gak nanya!" sela Zetsu hitam.
"Masa bodoh!" lawan Zetsu putih.
"Ya sudah!"
"Maksudmu?"
"Eng… Tidak ada!" Zetsu Hitam menyerigai.
"Lalu?"
PLUK
"Wadaw!" Sukses, satu botol air mineral mendarat di kepala keduanya. Keduanya hanya meringis menahan sakit.
"Kok, cuma satu botol?" protes duo Zetsu.
"Udah! Bagi dua saja!" sahut Hidan.
"Tapi kan, kami berdua!"
Hidan masih acuh. Sambil membuka tutup botol, ia meladeni omelan Zetsu,"Satu badan juga, toh."
"Ah! Capek ngomong sama kamu, Hidan!"
"Siapa suruh?"
"Hei, sudah-sudah!" lerai Kisame.
…oOo…oOo…oOo…
"La… la… la… la…" Tobi bersenandung.
"Tobi! Berisik, un!" Deidara yang sedang memainkan tanah liat merasa terganggu oleh suara cempreng milik Tobi. Padahal, suara mereka sama-sama cempreng.
"La… la… la… memangnya kenapa, senpai?" tanya Tobi.
"Cempreng, un!"
"Halah! Suara senpai kan juga cempreng."
"Terserah kau saja. Hey, Tobi! Memangnya kau kenapa dari tadi bolak-balik aja, un?" tanya Deidara yang tampak risih dan terganggu oleh kegiatan Tobi yang tanpa tujuan tersebut.
"Hm? Tak apa, kok! Lagi males aja."
"Oh. Dasar aneh, un!"
"Eh, Dei-senpai!" Tobi mendekat ke Deidara dan duduk di sebelahnya.
Deidara menoleh, "Ada apa, un?"
"Eng… kira-kira yang jadi pramugarinya siapa, ya? Konan-senpai kan satu-satunya perempuan di sini," tanya Tobi.
Deidara menghentikan kegiatannya sesaat. Ia tampak berpikir, menopang dagunya. Benar juga kan, apa yang dikatakan Tobi? "Kau benar, un! Entahlah, aku juga tidak tahu, un," ucapnya masih dengan pose yang sama.
"Um… kira-kira nanti Tobi jadi apa, ya?" Tobi senyum-senyum sendiri membayangkan ia menjadi pramugara.
"Hei! Kau jadi tampak seperti orang gila, un! Sudah sana tidur. Besok kan kita masih harus bangun pagi, un!" ingat Deidara. Tobi merengut, karena khayalannya dibuyarkan oleh ucapan Deidara.
"Dei-senpai tidak tidur?" tanya Tobi. Deidara menggeleng. "Ya, sudah. Kalau gitu, Tobi tidur duluan, ya! Oyasumi, Dei-senpai!" pamit Tobi. Ia pun beranjak seraya menghela nafas panjang.
"Hm. Iya, un!" Deidara tersenyum. Detik berikutnya, terdengarlah alunan merdu khas Tobi yang mengundang pekikan maut anggota lain.
"TOBI! BERISIK! KAU TAHU INI SUDAH JAM BERAPA, HAH?"
"Iya… Tobi anak baek tahu ini sudah jam berapa dan ini sudah larut ma–KYAAAA…"
"AAA… TOBIII…"
'Hah! Walaupun dia menyebalkan, tapi sebenarnya ia anak yang baik, un!' batin Dei. Ia pun tersenyum dan kembali melanjutkan kegiatannya.
…oOo…oOo…oOo…
Hari kedua…
Seperti biasa, latihan diawali dengan pemanasan. Saking semangatnya berlari, tanpa sadar kaki Sasori menyandung batu. Alhasil ia terjatuh, "Hua… kakiku terkilir!" Sasori jatuh terduduk di atas hamparan rumput hijau yang, er… terawat? Ya, kurang lebih seperti itulah. Kondisi Sasori yang tengah meringis dan berusaha berdiri namun selalu gagal, mengundang perhatian yang lain. Tak terkecuali Deidara yang tak lain dan tak bukan partnernya sejak bergabung di Akatsuki. Sementara yang lain hendak menolong Sasori, Tobi masih asyik bermain bola sepak. Dengan sekali tendang… bola itu melambung tinggi dan tampaknya mengarah ke—
"SASORI! LIHAT DI ATASMU!" pekik Hidan dari jauh.
"Eh?" Sasori mengangkat perlahan kepalanya, mendongak ke atas. 'Oh, tidak.'
"Awas, senpai!" pekik Tobi.
"Aaaa…"
BUAGH! Goal… satu poin untuk Tobi yang sukses melayangkan bolanya tepat ke arah Sasori—lebih tepatnya wajah.
"TOBIII… AWAS KAU!" geram Sasori.
"KYAAA…"
Tanpa perduli rasa nyeri dan cenat-cenut(?) yang melanda kakinya, Sasori berlari mengejar Tobi.
Hari ketiga…
"Tralalala… lilili… nyam… nyam…" Tobi berlalu sambil menjilati es-krim yang baru saja dibelinya.
"Tobi! Minta es krimnya, dong!" panggil Konan.
Tobi menghentikan langkahnya menoleh ke arah Konan yang terduduk karena lelah, "Tidak mau! Beli saja sana, senpai!" ucapnya acuh.
"Huh, pelit!" Ternyata perkiraan Konan salah. Ia pikir Tobi akan memberinya.
Tobi? Sudah pergi ke… Ah! beli es-krim lagi, tuh.
Hari keempat…
"Hati-hati, Konan-chan! Pelan-pelan saja!" pekik Pein.
Konan menoleh ke arah Pein seraya tersenyum tanpa memperhatikan jalan. Tunggu dulu! Kuning? Apa itu? Seperti ku—
"Pein! Tolong! Kyaaa…"—lit pisang.
"Ups! Itu kan…" Zetsu Hitam menepuk jidatnya.
Flashback
"Tara… Hah… tak ku sangka buahnya begitu banyak! Um… harumnya!" ucap Zetsu Putih sambil mengangkat setandan buah pisang yang matang. Ah, nikmatnya…
"Minta satu! Biar ku coba rasanya seperti apa? Apa benar yang dikatakan penjual bibit buah itu kalau rasanya…" Zetsu Hitam merebut sebuah pisang dari rangkulan(?) Zetsu putih dan melahapnya. "Ah… nikmatnya… Ini benar-benar manis. Coba saja!"
"Eh? Tapi, kita kan kanibal!" bentak Zetsu Putih, ia meletakkan setandan pisang itu ke tanah. Karena penasaran si Hitam begitu nikmatnya melahap pisang itu, diambilnya satu pisang dan dilahapnya. Matanya membulat tak berkedip. "E-e-enak sekali!" ucapnya.
"Kalau begitu kita habiskan saja semua!"
"Tapi, yang lain kan belum mencobanya."
"Halah… biar saja! Toh, yang menanamnya kita juga, kan?" hasut Zetsu Hitam.
"Iya juga, sih. Tapi kan–"
"Terserah kau saja!" potong Zetsu Hitam.
Melihat semua pisang yang sudah dipanen hendak dilahap Zetsu Hitam, ia pun berubah pikiran. "Ba-baiklah!"
"Nah, begini lebih baik!"
Keduanya menghabiskan semua pisang tersebut tanpa menghiraukan status mereka yang notabene kanibal–eh–mantan kanibal maksudnya. Lalu? Kemana semua kulit pisang itu?
"Hei, hitam! Jangan asal buang sampahnya! Kalau terkena yang lain, lalu terpeleset, bagaimana?"
"Eh? Ah, mereka kan punya mata. Tidak mungkin tak melihat kulit pisang yang berserakan ini. Sudahlah, kau tenang saja!" jawab Zetsu Hitam acuh.
"Huh, kau ini!"
Dan ya, itulah asal-usul(?) keberadaan kulit pisang itu.
End of Flashback
"Ehehe…" duo Zetsu nyengir.
"Yah, patah lagi highheels-nya!" ucap Hidan lesu.
"Total semuannya… eng… lima juta lima ratus ribu Yen!" sambung Kakuzu yang tampak menghitung total kerugian mereka hari ini.
"Huwee…" rengek Pein(?). Ya, dia yang harus ganti rugi.
Hari kelima…
Hm… menikmati indahnya istirahat setelah seharian penuh berlatih, bukankah sebuah momen yang tak ternilai harganya, eh? Apalagi sambil menikmati hangatnya teh ditemani cookies coklat, beratapkan langit malam bertabur gugusan bintang. Hah… indahnya dunia.
"Dutt…" Bunyi apa, itu?
"Humph! Bau, Tobi!" Sasori mengibas-ngibaskan telapak tangannya, menahan nafas.
"Ehehe… maaf, senpai! Tobi udah ga tahan mau kentut!" jawab Tobi watados.
"Dutt… dutt… preet…"
"Hoek… hoek… TOBI! Awas kau! Jangan lari, kau ya!" geram Sasori, mengepalkan tangannya.
"GYAAA…."
Ah, sepertinya bukan istirahat yang menyenangkan. Poor you, Sasori.
Hari keenam…
"Baiklah, semua! Hari ini hari terakhir kita latihan. Jadi, tolong gunakan dengan sebaik-baiknya. Mengerti?" ucap Pein.
"Mengerti!" balas yang lain serentak.
"Hm, hari ini latihan kita adalah penyelamatan. Jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan, kita bisa mengantisipasinya." Yang lain mengangguk. "Metode pelatihannya perkelompok. Jadi, akan ku bagi masing-masing kelompok," Pein membuka buku catatannya. "Kelompok pertama, Konan, Kakuzu dan Itachi."
"Huh, sekelompok sama rentenir!" dumel Itachi.
"Hah, kakek keriput!" ejek Kakuzu. Padahal garis diwajah Itachi itu kan bukan keriput. Kakuzu aja yang sirik sama Nii-chan Author. *buagh
"Kelompok kedua, Kisame, Hidan dan em… Zetsu!" lanjut Pein.
"Ya, Jashin-sama! Kelompokku orangnya aneh semua. Ckckck!" Hidan geleng-geleng.
"Kelompok terakhir, Sasori, Deidara dan Tobi! Yak, itu keputusan ketua! Tidak bisa diganggu gugat!" ucap Pein mengakhiri.
"Yeay! Tobi sekelompok sama Dei-senpai dan Saso-senpai!" Tobi loncat-loncat ga jelas.
"Huh, merepotkan, un!"
"Dei-senpai suka seni! Saso-senpai suka seni! Tobi anak baek suka lollipop!"
"…"
"…"
"Kok diam, senpai?" ucap Tobi yang merasa–sebenarnya memang– dikacangin.
"Un, tidak. Aku hanya mendengar suara makhluk apa ya? Ya, makhluk aneh yang berkeliaran di markas ini, un. Padahal, markas ini sudah di renovasi, un. Tapi, sepertinya dia ada di sini, un!" Deidara menyerigai. 'Un, pasti kau akan diam.' batinnya.
"…"
'Haha… benar, kan. Un!' batinnya lagi.
"Makhluk aneh? Berkeliaran di sini. Um…" Tobi memasang pose berfikir. Dengan tangan kiri bersedekap, sementara tangan kanan menopang dagu. "Ah! Apa ada hubungannya dengan makhluk aneh yang dikatakan Pein-senpai, itu?" ucapnya tiba-tiba. Dahinya mengkerut, masih tetap serius berfikir.
"Un?" Deidara tersentak.
"Aha! Tobi ingat! Makhluk itu… kucing keriput jadi-jadian, kan?"
"Un? Ahahahaha…" tawa Deidara.
"Ahahahaha…" yang lain ikut tertawa. Itachi merengut—memasang deathglare khas Uchiha.
"Er, Leader-sama! Bagaimana dengan pembagian pramugari dan pramugara Akatsuki Air? Bukannya hanya aku perempuannya?" tanya Konan.
Hening…
"Benar juga," kali ini Pein yang memasang pose berpikir.
"Apa perlu, er…" sambung Konan.
Pein melirik ke arah Deidara. Deidara tersentak melihat tatapan Pein yang mengerikan itu. Apa perlu membahas janji-janji keramat extra pahit dari Kakuzu lagi? Author rasa tidak perlu. *jedhuak. Okay, lanjut!
'Un? Tatapan itu. Tatapan itu bukanlah tatapan sembarangan. Tatapan itu penuh arti dan tandanya kalau ia merencanakan sesuatu, un. Habislah aku,' batin Deidara was-was.
"Tenang saja, Konan. Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah merencanakannya. Inilah yang membuat Akatsuki Air berbeda dari yang lain," ucap Pein. Salah satu sudut bibirnya terangkat membentuk seringai.
"Maksudmu?"
"Lihat saja nanti. Aku tidak ingin membocorkannya sekarang. Tunggu saja tanggal mainnya. Baiklah, ayo kita mulai latihan hari ini."
'Ku harap Deidara akan baik-baik saja,' batin Konan. 'Semoga.'
…oOo…oOo…oOo…
Sementara itu di KHS
Kelas XI-1
"Huh? Apa itu, Sensei?" tanya Naruto ketika melihat Kakashi yang masuk dengan membawa setumpuk kertas.
"Ulangan harian," jawab Kakashi enteng.
"APA! TIDAK!" pekik Naruto. Wajahnya yang dibuat shock dengan kedua tangan yang menutupi mulut.
"Kau terlalu berlebihan, Dobe," ucap Sasuke datar. Tidak mengalun dan tanpa intonasi. Bagaimana kalau Uchiha satu ini berpidato? Apakah tanpa intonasi ataupun ekspresi sedikit pun? Hah, lupakan!
"Tapi, Teme! I-i-itu kan—"
"Hei… hei… Aku hanya bercanda," potong Kakashi.
"Syukurlah!" Naruto menghela nafas.
"Shikamaru! Tolong bagikan kertas ini," perintah Kakashi kepada Shikamaru. Dengan enteng, sesudah menunjuk tumpukan kertas itu, ia kembali membaca novel kesukaannya. Kali ini edisi… Icha-Icha Tactics.
"Ck, mendokusei!" yang disuruh hanya bergumam dan membagikan semua kertas tersebut dengan mata terpejam. Wow…
"Um? Surat persetujuan izin?" gumam Naruto seraya membaca kata demi kata yang tertera pada kertas tersebut.
"Baiklah anak-anak, itu surat izin untuk tour besok. Serahkan kepada orang tua kalian. Jika setuju, besok kalian datang jam tujuh pagi dan berkumpul di lapangan basket. Jangan lupa bawa perlengkapan dan yang paling penting surat izinnya. Harus disertai tanda tangan orang tua. Kalau tidak, kalian tidak akan diberikan tiket untuk tour. Mengerti?" jelas Kakashi panjang lebar.
"Mengerti, Sensei!"
"Yokatta! Baiklah, kalian boleh istirahat sekarang. Jaa!" pamit Kakashi yang langsung berlalu ke luar kelas. Tak perduli dengan tatapan heran dari murid-muridnya.
"Hei, Teme! Bukannya Kakashi-sensei baru saja masuk, ya? Jam mengajarnya pun belum selesai," bisik Naruto pada Sasuke.
Sasuke mengernyit heran. "Hn? Bukannya ia selalu begitu, Dobe? Biar sajalah," ucap Sasuke seraya memasang earphone-nya dan menyandarkan punggungnya pada bangku—memejamkan kedua kelopak matanya. Ternyata Uchiha yang satu ini malas juga, ya? Biasalah, orang pintar. #*apa hubungannya?* di chidori#
Kelas X1-2
"Ohayou, Minna!" sapa Iruka-sensei—sang Wali Kelas.
"Ohayou, Sensei!" balas yang lain semangat.
"Yosh, Minna! Hari ini kita free—"
"Yeay!" belum sempat Iruka-sensei menyelesaikan kata-katanya, para penghuni kelas tersebut sudah bersorak-sorai.
"—class. Hei! Tenang dulu! Free class-nya hanya untuk jam pelajaranku saja. Setelah itu kembali belajar di jam Biologi," sambung Iruka-sensei.
"Maksudnya, jam pelajaran Orochi-sensei nanti tetap berlangsung?" tanya Ino yang lain mengangguk sependapat.
"Ha'i! Tadashii desu!" jawab Iruka-sensei dengan senyum mengembang.
"Yaah…" semua tertunduk lesu.
"Baiklah, ini ada surat persetujuan izin tour nanti. Tolong sampaikan kepada orang tua kalian. Besok kalian berkumpul jam tujuh pagi di lapangan basket. Bawa perlengkapan dan yang paling penting surat izin-nya. Jangan berbohong dengan memalsukan identitas. Mengerti?" jelas Iruka-sensei.
"Mengerti-sensei!"
"Jaa! Selamat bersenang-senang, Minna!" Iruka-sensei pun berjalan meninggalkan kelas. Selang beberapa detik bayangan Iruka-sensei menghilang, mucul bayangan seseorang berambut panjang berkalungkan ular. Orochi-sensei dan Manda—ular sang sensei killer. Entah sejak kapan sekolah ini memperbolehkan membawa hewan peliharaan, tidak diketahui sebabnya. Yang pasti, Orochimaru-sensei bisa membawa hewan peliharaan dengan alasan aplikasi dalam pelajarannya.
"Ohayou, Minna!" sapa Orochi-sensei. Aura dalam kelas tersebut berubah mencekam.
"O-o-ohayou, se-se-se-sensei!" jawab penghuni kelas tersebut dengan nada lesu dan wajah menunduk tak lupa dengan pelafalan yang gagap. Kalau ini jam pelajaran Maito Guy-sensei, pasti ia akan meneriakan kata-kata penyemangat andalannya.
…oOo…oOo…oOo…
"APA?"
"Ssst! Jangan berisik, bakka!" seru Pein.
"Tapi, ini terlihat konyol, Pein!"
"Ssst! Sudah ku bilang kalian tenang saja. Bisa tidak sih kalian diam?" ucap Pein kesal.
"Hah… terserah kau sajalah. Lalu bagaimana caranya?"
"Sudah ku bilang kalian tenang saja. Aku tahu cara yang tepat agar Akatsuki Air terlihat menarik." Pein menyerigai.
Konan mengernyit, "Tapi, itu sangat konyol, Pein."
"Tenanglah, Konan-chan!"
"Apa yang dikatakan Konan itu benar, Leader-sama! Itu terlihat konyol dan terkesan berlebihan," sanggah Hidan.
"Tapi, ini berbeda dari yang lain," protes Pein.
Deidara membuang muka,"Un! Aku tidak mau seperti itu, un!" protesnya. Yang lain ikut mengangguk setuju, kecuali Tobi.
"Dei-senpai! Itu keren tahu!" ucap Tobi. Sepertinya Tobi berada di pihak Pein.
"Apa bagusnya, un? Memalukan seperti itu, un!" protes Deidara.
Tobi memandangnya sebal, "Tapi itu sungguh keren, Dei-senpai!"
"Pokoknya aku tidak setuju, un!"
"Aku juga kurang setuju," ucap Sasori.
"Hei! Keputusan ketua tidak bisa dibantah!" amuk Pein.
"Tapi—"
"Siapa yang tidak setuju?" tanya Pein. Dilihatnya semua anggota mengangkat tangan, kecuali dirinya dan Tobi. Sudah ia duga, kalau idenya ini tidak akan disetujui oleh yang lain. Tapi, ia nekat memaksakan kehendak dan beralasan kalau ini akan membuat Akatsuki Air berbeda dari yang lain. "Baiklah. Aku sudah menduganya," ucap Pein pasrah. "Tapi, ini tidak akan dibatalkan! Aku akan tetap menggunakannya," sambungnya lagi.
"Sudah ku bilang, pasti tidak akan mempan," gumam Konan.
"Hah, setidaknya kita sudah mencoba mencegahnya, Konan," ucap Kisame.
"Yah, mau bagaimana lagi."
…oOo…TBC…oOo…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar