Di sekolahku, banyak bertebaran gosip aneh. Yang paling terkenal adalah tentang dia.
Dia adalah cowo terpopuler di sekolah ini, entah kenapa. Seorang playboy yang aneh. Kabarnya, dia tidak pernah menolak siapapun yang menyatakan suka padanya. Benar-benar murahan 'kan? Tapi...
''Kau ini sebenarnya suka padaku nggak sih?'' gadis itu berteriak namun dia tidak merespon. Ia bahkan tidak melihat ke arah gadis itu.
Merasa tidak dipedulikan, gadis itu melayangkan sebuah tamparan. ''Ternyata semua gosip itu benar. Kau memang rendah!'' Gadis itu berlari pergi. Ia masih tetap disitu, tidak merespon. Seolah-olah tidak merasakan apa-apa.
Kejadian itu memang sudah biasa di sekolah ini. Selalu seperti itu. Katanya, tidak pernah ada yang bertahan lebih dari seminggu. Dan setiap kali selalu diakhiri dengan sebuah tamparan. Dan parahnya lagi, begitu pergi, selalu ada yang menggantikan. Dan kali ini...
''Hei,'' ia melihat ke arahku, ''Kau mau pacaran denganku?''
Itu merupakan hal yang tidak pernah kurencanakan saat sarapan tadi pagi.
Atap sekolah memang tempat yang paling nyaman untuk memakan bekal. Padahal sampai beberapa bulan yang lalu, atap sekolah masih menjadi tempat para pasangan berkumpul dan bermesraan. Tapi sejak Guru Ebisu yang merupakan guru sastra diangkat menjadi wakil kepala sekolah, ia melarang murid-muridnya untuk memasuki wilayah atap.
Terima kasih untuk jepitan hitam kecil yang ada di sakuku. Aku bisa makan sendirian di atap dengan tenang. Menikmati belaian angin, selimut biru langit dengan motif awan. Yah... Membawa satu orang tidak terlalu menyakitkan 'kan?
Aku memperhatikannya sambil menyuap makananku ke mulut. Rambut pirangnya yang halus bergoyang dengan lembut sesuai arah angin. Samar-samar, tercium bau semerbak melon dari roti yang tinggal setengah ditangannya.
Ia makan dengan pelan. Sangat pelan. Ia menggigit sebagian kecil roti itu kemudian mengunyahnya dengan sangat lama. Aku tidak yakin ia bisa menghabiskan roti itu sampai waktu istirahat selesai.
Matanya seolah-olah menerawang jauh. Jauh ke tempat yang tidak kukenal.
''Hei, makananmu hanya roti itu?'' Ia tidak menjawabku. ''Kalau kau hanya makan itu terus, tidak ada gizinya, loh.''
Ia tetap tidak mengatakan apapun.
Aku mengambil sepotong telur dadar gulung dari kotak bekalku lalu aku berusaha memasukkannya ke dalam mulutnya yang sedikit terbuka walau ia menolak, dan...
Hola!
Aku berhasil memasukkannya walau harus dengan susah payah.
Tidak bisa membuangnya, ia mengunyah telur itu perlahan. Matanya sedikit melebar saat memakannya. ''Enak?'' Dia hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Aku senang dengan reaksinya.
''Kalau begitu, mulai besok aku akan membuatkan bekal yang sama untukmu. Oh iya, siapa namamu?'' Aneh memang karena aku mengajaknya pacaran tanpa tahu namanya, tapi aku benar-benar tidak tahu.
Aku masih bisa mendengar suaranya yang pelan di antara angin yang bertiup dan sedikit menyamarkan suaranya. ''Naruto? Itu namamu?'' Ia mengangguk.
''Salam kenal, Naruto. Namaku Hinata.''
.
.
.
Kepopulerannya memang hebat. Dalam sekejap, hampir seluruh sekolah tahu ia sudah berpacaran lagi. Meski hal ini merupakan kegiatan mingguan, tapi efeknya tidak pernah berkurang.
Aku sendiri tidak menyangka ia bisa menjadi pacarku. Tapi seingatku, saat aku mengajaknya, ia tidak mengatakan iya atau tidak. Ia hanya melihat ke arahku sebentar dengan pandangan yang masih sama, lalu pergi begitu saja. Seperti berkata: 'Terserahlah'
Tidak menolak...
... dan tidak menerima.
Kini aku mengerti kenapa banyak orang yang tidak terlalu suka saat bersama dengannya, kenapa tidak pernah ada yang bertahan lebih dari seminggu. Dia tidak pernah bicara. Diajak bicara, dia tetap diam. Didiamkan, suasana jadi sunyi. Tanda kalau ia mendengarmu hanyalah sedikit anggukkan atau gerakan kelopak matanya. Gerakan lain? Kurasa tidak ada.
Yang lebih membuatku tertarik adalah pandangannya yang kosong. Benar-benar seperti orang mati. Yang ia lakukan hanyalah makan, bernapas, dan berjalan. Aku tidak yakin ia akan tetap melakukan hal itu untuk ke depannya. Siapa tahu dalam waktu dekat ia juga berhenti melakukan hal itu.
Kalau bersamanya, kita jadi tidak tahu apakah kita benar-benar hidup di dunia ini. Entah ia yang tidak hidup, atau kita yang tidak hidup. Apapun yang kita lakukan, tidak pernah ditanggapinya. Bagi kita, ia seperti tidak ada, dan baginya, kita benar-benar tidak ada. Pantas saja banyak yang menyebutnya seperti mayat hidup. Bagiku ia lebih mirip zombie. Tidak hidup, tapi tidak mati. Lifeless.
Meski dia seperti ini, tapi ternyata ia juga memiliki teman. Pernah ada seorang cowo berambut nanas mendatangiku saat aku sedang bertugas membuang sampah. Wajahnya seperti orang yang kurang tidur. Entah apa yang dilakukannya di malam hari.
''Hei, kau.'' Aku menoleh ke arahnya dan menunggu ia berbicara. ''Dengar, aku tidak tahu siapa kau. Aku bahkan tak tahu siapa namamu...'' Ok, kurasa itu kalimat yang kurang sopan untuk diucapkan pada orang yang baru ditemui. ''...tapi kalau kau hanya ingin mendekati Naruto karena wajah, predikat, maupun ketenarannya, lebih baik kau berhenti sekarang sebelum kau menjadi seperti para cewe yang sudah-sudah.'' Kupikir apa yang mau di bicarakan sampai mendatangiku. Ternyata ia mau membahas tentang pacar zombieku.
''Aku suka tubuhnya.'' Cowo nanas tampak bingung dengan jawabanku. Aku sendiri tidak tahu dari mana kalimat itu berasal. Itu keluar begitu saja tanpa sempat dicerna oleh otakku. ''Aku suka tubuhnya yang atletis, perutnya yang six-packs lalu...''
''Oi oi oi, kau bercanda 'kan? Kalau hanya seperti itu, lebih baik kau cari saja cowo lain. Masih banyak yang lebih baik daripada dia. Kau lihat sendiri 'kan dia itu seperti mayat hidup? Kau—''
''Sebenarnya yang kau khawatirkan aku, atau Naruto?'' Ia terdiam tak menjawab. Aku menghela napas panjang. ''Dengar, aku tidak berpacaran dengannya karena aku menyukai wajah, predikat, dan ketenarannya. Maupun tubuhnya.'' Bagian terakhir kukatakan sambil sedikit berbisik karena ceplas-ceplosku tadi. Rasanya aku bahkan belum penah melihat tubuhnya yang tanpa busana. ''Apa dengan begitu kau bisa tenang?''
Cowo nanas itu mengepalkan tangannya dengan erat. ''Lalu kenapa? Kenapa kau mau berpacaran dengannya? Apa kau sama dengan cewe-cewe sebelumnya yang berpura-pura baik dan berusaha agar dia tidak seperti itu lagi? Seolah-olah membawanya keluar dari kegelapan menuju cahaya, hah? Kalau memang seperti itu, hentikan saja! Sia-sia tahu! Sudah banyak orang yang mencoba, tapi gagal. Jangan bersikap sok peduli!''
''Matanya.''
Cowo nanas melihat lurus ke arah mataku. Aku yakin ia mengerti maksudku tanpa harus menjelaskannya dengan kata-kata. Ia hanya melarikan tangan ke rambutnya lalu berbalik pergi.
''Terserahlah. Kalian kaum Hawa memang merepotkan.''
Itulah pertama kali aku melihatnya. Aku tidak tahu kalau ia mempunyai teman. Jangan salahkan aku, siapa yang menyangka dengan sifatnya yang seperti itu ia masih bisa berteman? Yang jelas bukan aku.
Menarik napas panjang, aku menghembuskannya keras-keras. Apa tindakanku ini benar adanya?
.
.
.
''Nah, seperti yang kujanjikan, ini bagianmu,'' kataku sambil menyerahkan sebuah kotak bekal ke pangkuannya. Hari ini cuaca cerah, angin berhembus sepoi-sepoi. Atap sekolah memang tempat yang paling nyaman untuk makan siang.
Dia menatapku. Hanya hal itu yang bisa dia lakukan untuk menanggapi segala tindakanku, selain mengangguk atau pergi begitu saja meninggalkanku.
''Ada apa? Kau tidak bisa membukanya?'' tanyaku sambil mengunyah sosis gurita yang baru kugoreng tadi pagi. Dia hanya diam melihat kotak bekal itu.
Aku memutar bola mataku sebelum membuka kain penutup kotak tersebut dan memperlihatkan isinya. Nasi putih, sosis goreng berbentuk gurita, telur dadar gulung, tomat kecil, dan yang lainnya. Bekal yang sama dengan yang kumiliki.
''Apa kau juga perlu disuapi?''
Dia mengambil sumpitnya sendiri dan mulai mengambil sedikit nasi. Nasi yang masih agak hangat itu dikunyahnya bersama dengan telur dadar gulung yang berwarna kuning keemasan. Tempo makannya lebih cepat dibandingkan dengan saat pertama kali makan bersamaku.
Aku tersenyum melihatnya memakan masakanku yang sudah kubuat sampai harus bangun pagi. ''Kau boleh makan, tapi jangan sampai belepotan dong.'' Aku menertawai cara makannya sambil mengambil butiran nasi yang ada di dekat mulutnya lalu memasukkannya bersama dengan kumpulan nasi lain yang dikunyahnya.
Dia tidak kelihatan protes dan membiarkanku melakukannya. Dia tetap melanjutkan acara makannya sendiri, dan aku melanjutkan bagianku.
Aku menyukai keberadaannya yang hampir tidak menimbulkan suara di dekatku. Sama seperti angin yang menerpa wajahku kemudian membelai rambutku dengan lembut. Sama seperti suara burung yang selalu menemaniku dari atas sana.
Dekat namun jauh. Jauh...
...namun terasa dekat.
.
.
.
Tidak terasa hubungan kami yang tidak jelas ini sudah berlangsung hampir seminggu, dan... Aku masih belum merasa mau putus dengannya.
Entah ini harus digolongkan kabar baik atau bukan, yang pasti hal itu sudah tersebar hampir ke seluruh sekolah. Cowo ini memang hebat. Segala hal yang berhubungan dengannya selalu menyebar dengan cepat. Tapi menjadi pusat perhatian sepertinya bukan tujuan utamanya berperilaku seperti zombie.
Saat bel pulang berbunyi aku harus segera berberes dan pergi ke tempatnya kalau tidak mau ditinggal.
''Hyuuga, tolong gantikan aku piket, ya.'' Tiba-tiba salah seorang dari mereka menghampiriku dan mencegah niatku untuk segera pergi dari kelas ini. Ingin rasanya menolak permintaan itu, tapi mulut ini serasa kaku dan suaraku tidak bisa keluar.
Belum sempat aku memberikan respon, ia pergi begitu saja sambil melambaikan terima kasihnya. Ia pergi bersama kawanannya ke karaoke box bertemu dengan kawanannya yang lain. Dan tadi dia bilang dia harus pergi untuk menjemput adiknya di TK?
Aku melihat sekelilingku. Bahkan satu orang lagi yang seharusnya ikut ber-piket bersamanya pun menghilang. Kurasa kali ini aku harus membiarkan dia pulang sendiri.
Dengan ogah-ogahan, aku membersihkan ruangan kelas itu seorang diri. Berharap agar matahari akan terbenam setelah aku sampai di rumah karena aku terlalu takut untuk pulang sendirian saat gelap.
Setelah beberes, aku berlari di koridor agar cepat sampai di bawah. Saat aku melewati ruang kelas 2-3 yang berada di sebelah kelasku, pintu kelas itu terbuka, memberi celah yang cukup untuk seseorang dapat mengintip apa yang ada di dalamnya.
Saat itulah aku mulai tidak mempercayai apa yang dilihat mataku dan yang tersampaikan ke otakku. Ruangan kelas yang bermandikan warna oranye matahari sore, tirai jendela yang menari dengan diiringi irama angin, disana ia duduk seolah-olah menjadi penonton dalam sebuah pertunjukan fenomena alam.
Ia duduk bersandar santai pada kursinya. Posisi yang sama dengan saat tiap kali aku melihatnya di kelas, dimana sekelilingnya selalu ramai dan dia selalu berdiam di situ. Arah yang sama ketika aku melihatnya sedang berada dalam pelajaran, entah ia memperhatikan guru atau tidak. Tempat yang sama dimana aku selalu menemukannya saat istirahat dan menyeretnya ke atap bersamaku.
Tiba-tiba dia beranjak dari tempatnya, membuatku sedikit terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba. Dia berjalan ke arahku tanpa melihatku meski hanya sekilas lalu melewatiku yang berada di ambang pintu begitu saja tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kurasa, meski tidak menunjukkannya, ia tahu kalau aku ada di sini.
Aku pun menyusulnya dari belakang menelusuri lorong sekolah yang panjang setelah melepaskan senyum kecil di bibirku.
.
.
.
Perjalanan pulang kami tidaklah istimewa. Tidak ada bergandeng tangan, maupun obrolan ringan. Jarak kecil yang ada di antara kami berdua hanya diisi oleh keheningan yang diselingi oleh suara langkah kami maupun tawa canda orang-orang yang melewati jalan yang sama dengan kami.
Untuk ukuran laki-laki, kupikir jalannya cukup pelan. Seharusnya dengan kaki yang panjang itu, dia bisa mengambil langkah yang jauh lebih lebar dari sekarang.
Karena aku mengambil jarak sekitar dua langkah di belakangnya, aku bisa melihat punggungnya yang lebar. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana dan sebelahnya lagi membawa tas sekolah. Kancing blazer hijaunya dibuka, menampilkan warna putih kemeja yang ia pakai. Dan bila angin bertiup, ujung blazer itu akan melambai, bersamaan dengan melambainya rambut pirang itu.
Kepalanya selalu agak tertunduk. Seperti tidak ingin melihat dunia, dan tidak peduli.
Tiba-tiba di depan kami, lewat sebuah bola sepak yang ditendang keluar dari taman yang kami lewati. Anak-anak yang sejak tadi bermain bola itu meminta agar bolanya yang bergelinding ke jalan diambilkan. Merasa tidak ada pergerakan lebih lanjut darinya, aku memutuskan untuk mengambil bola itu sendiri.
Saat tanganku menyentuh bola tersebut, tiba-tiba di depanku muncul sebuah siluet mobil yang berjalan ke arahku dengan kecepatan penuh. Aku bisa mendengar suara teriakan orang-orang di sekitarku yang menyuruhku untuk menyingkir, tapi kejadian ini terlalu tiba-tiba. Kakiku terlalu takut untuk melangkah, terlalu takut untuk beranjak. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu hanyalah menutup mataku rapat-rapat hingga aku tak bisa melihat atau mendengar suara apapun lagi.
.
.
.
Di dalam kegelapan dan keheninganku, aku bisa mendengar bunyi detak jantung dengan jelas. Apa ini detak jantungku?
Aku membuka mata perlahan, hanya untuk menemukan bahwa diriku sedang berada di dalam pelukan seseorang. Detak jantung yang bertempo cepat ini bukan milikku, melainkan pemilik tangan yang sedang melingkariku dengan erat.
Aku mendongak melihat pemilik tangan dan suara detak jantung itu. Mata birunya memandang ke arah mobil tadi pergi berlalu tanpa sempat berhenti maupun meninggalkan ucapan maaf dari si pengendara.
Aku ingat.
Sesaat sebelum mobil itu sempat menyenggol tubuhku, tanganku sudah ditarik terlebih dahulu oleh seseorang. Sampai sekarang pun ia masih belum melepaskan cengkramannya di pergelangan tanganku, bahkan aku masih merasakan sebelah tangannya yang melingkari pinggangku, menahanku untuk tetap lebih dekat dengannya. Dan aku belum pernah melihat wajahnya yang shock seperti sekarang.
''A... Ano...''
Ia tersadar dari shocknya kemudian melepaskanku. Ia berdiri dan merusak posisi kami yang sebelumnya. Ia mengambil tasnya yang sempat terlempar saat menolongku, lalu segera pergi dari tempat ini.
Aku menangkupkan kedua tanganku di dada, masih belum beranjak karena terlalu shock dengan semuanya yang berlalu begitu cepat.
Aku masih belum mengucapkan terima kasih padanya...
.
.
.
To Be Continued
Dia adalah cowo terpopuler di sekolah ini, entah kenapa. Seorang playboy yang aneh. Kabarnya, dia tidak pernah menolak siapapun yang menyatakan suka padanya. Benar-benar murahan 'kan? Tapi...
''Kau ini sebenarnya suka padaku nggak sih?'' gadis itu berteriak namun dia tidak merespon. Ia bahkan tidak melihat ke arah gadis itu.
Merasa tidak dipedulikan, gadis itu melayangkan sebuah tamparan. ''Ternyata semua gosip itu benar. Kau memang rendah!'' Gadis itu berlari pergi. Ia masih tetap disitu, tidak merespon. Seolah-olah tidak merasakan apa-apa.
Kejadian itu memang sudah biasa di sekolah ini. Selalu seperti itu. Katanya, tidak pernah ada yang bertahan lebih dari seminggu. Dan setiap kali selalu diakhiri dengan sebuah tamparan. Dan parahnya lagi, begitu pergi, selalu ada yang menggantikan. Dan kali ini...
''Hei,'' ia melihat ke arahku, ''Kau mau pacaran denganku?''
Itu merupakan hal yang tidak pernah kurencanakan saat sarapan tadi pagi.
Atap sekolah memang tempat yang paling nyaman untuk memakan bekal. Padahal sampai beberapa bulan yang lalu, atap sekolah masih menjadi tempat para pasangan berkumpul dan bermesraan. Tapi sejak Guru Ebisu yang merupakan guru sastra diangkat menjadi wakil kepala sekolah, ia melarang murid-muridnya untuk memasuki wilayah atap.
Terima kasih untuk jepitan hitam kecil yang ada di sakuku. Aku bisa makan sendirian di atap dengan tenang. Menikmati belaian angin, selimut biru langit dengan motif awan. Yah... Membawa satu orang tidak terlalu menyakitkan 'kan?
Aku memperhatikannya sambil menyuap makananku ke mulut. Rambut pirangnya yang halus bergoyang dengan lembut sesuai arah angin. Samar-samar, tercium bau semerbak melon dari roti yang tinggal setengah ditangannya.
Ia makan dengan pelan. Sangat pelan. Ia menggigit sebagian kecil roti itu kemudian mengunyahnya dengan sangat lama. Aku tidak yakin ia bisa menghabiskan roti itu sampai waktu istirahat selesai.
Matanya seolah-olah menerawang jauh. Jauh ke tempat yang tidak kukenal.
''Hei, makananmu hanya roti itu?'' Ia tidak menjawabku. ''Kalau kau hanya makan itu terus, tidak ada gizinya, loh.''
Ia tetap tidak mengatakan apapun.
Aku mengambil sepotong telur dadar gulung dari kotak bekalku lalu aku berusaha memasukkannya ke dalam mulutnya yang sedikit terbuka walau ia menolak, dan...
Hola!
Aku berhasil memasukkannya walau harus dengan susah payah.
Tidak bisa membuangnya, ia mengunyah telur itu perlahan. Matanya sedikit melebar saat memakannya. ''Enak?'' Dia hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Aku senang dengan reaksinya.
''Kalau begitu, mulai besok aku akan membuatkan bekal yang sama untukmu. Oh iya, siapa namamu?'' Aneh memang karena aku mengajaknya pacaran tanpa tahu namanya, tapi aku benar-benar tidak tahu.
Aku masih bisa mendengar suaranya yang pelan di antara angin yang bertiup dan sedikit menyamarkan suaranya. ''Naruto? Itu namamu?'' Ia mengangguk.
''Salam kenal, Naruto. Namaku Hinata.''
.
.
.
Kepopulerannya memang hebat. Dalam sekejap, hampir seluruh sekolah tahu ia sudah berpacaran lagi. Meski hal ini merupakan kegiatan mingguan, tapi efeknya tidak pernah berkurang.
Aku sendiri tidak menyangka ia bisa menjadi pacarku. Tapi seingatku, saat aku mengajaknya, ia tidak mengatakan iya atau tidak. Ia hanya melihat ke arahku sebentar dengan pandangan yang masih sama, lalu pergi begitu saja. Seperti berkata: 'Terserahlah'
Tidak menolak...
... dan tidak menerima.
Kini aku mengerti kenapa banyak orang yang tidak terlalu suka saat bersama dengannya, kenapa tidak pernah ada yang bertahan lebih dari seminggu. Dia tidak pernah bicara. Diajak bicara, dia tetap diam. Didiamkan, suasana jadi sunyi. Tanda kalau ia mendengarmu hanyalah sedikit anggukkan atau gerakan kelopak matanya. Gerakan lain? Kurasa tidak ada.
Yang lebih membuatku tertarik adalah pandangannya yang kosong. Benar-benar seperti orang mati. Yang ia lakukan hanyalah makan, bernapas, dan berjalan. Aku tidak yakin ia akan tetap melakukan hal itu untuk ke depannya. Siapa tahu dalam waktu dekat ia juga berhenti melakukan hal itu.
Kalau bersamanya, kita jadi tidak tahu apakah kita benar-benar hidup di dunia ini. Entah ia yang tidak hidup, atau kita yang tidak hidup. Apapun yang kita lakukan, tidak pernah ditanggapinya. Bagi kita, ia seperti tidak ada, dan baginya, kita benar-benar tidak ada. Pantas saja banyak yang menyebutnya seperti mayat hidup. Bagiku ia lebih mirip zombie. Tidak hidup, tapi tidak mati. Lifeless.
Meski dia seperti ini, tapi ternyata ia juga memiliki teman. Pernah ada seorang cowo berambut nanas mendatangiku saat aku sedang bertugas membuang sampah. Wajahnya seperti orang yang kurang tidur. Entah apa yang dilakukannya di malam hari.
''Hei, kau.'' Aku menoleh ke arahnya dan menunggu ia berbicara. ''Dengar, aku tidak tahu siapa kau. Aku bahkan tak tahu siapa namamu...'' Ok, kurasa itu kalimat yang kurang sopan untuk diucapkan pada orang yang baru ditemui. ''...tapi kalau kau hanya ingin mendekati Naruto karena wajah, predikat, maupun ketenarannya, lebih baik kau berhenti sekarang sebelum kau menjadi seperti para cewe yang sudah-sudah.'' Kupikir apa yang mau di bicarakan sampai mendatangiku. Ternyata ia mau membahas tentang pacar zombieku.
''Aku suka tubuhnya.'' Cowo nanas tampak bingung dengan jawabanku. Aku sendiri tidak tahu dari mana kalimat itu berasal. Itu keluar begitu saja tanpa sempat dicerna oleh otakku. ''Aku suka tubuhnya yang atletis, perutnya yang six-packs lalu...''
''Oi oi oi, kau bercanda 'kan? Kalau hanya seperti itu, lebih baik kau cari saja cowo lain. Masih banyak yang lebih baik daripada dia. Kau lihat sendiri 'kan dia itu seperti mayat hidup? Kau—''
''Sebenarnya yang kau khawatirkan aku, atau Naruto?'' Ia terdiam tak menjawab. Aku menghela napas panjang. ''Dengar, aku tidak berpacaran dengannya karena aku menyukai wajah, predikat, dan ketenarannya. Maupun tubuhnya.'' Bagian terakhir kukatakan sambil sedikit berbisik karena ceplas-ceplosku tadi. Rasanya aku bahkan belum penah melihat tubuhnya yang tanpa busana. ''Apa dengan begitu kau bisa tenang?''
Cowo nanas itu mengepalkan tangannya dengan erat. ''Lalu kenapa? Kenapa kau mau berpacaran dengannya? Apa kau sama dengan cewe-cewe sebelumnya yang berpura-pura baik dan berusaha agar dia tidak seperti itu lagi? Seolah-olah membawanya keluar dari kegelapan menuju cahaya, hah? Kalau memang seperti itu, hentikan saja! Sia-sia tahu! Sudah banyak orang yang mencoba, tapi gagal. Jangan bersikap sok peduli!''
''Matanya.''
Cowo nanas melihat lurus ke arah mataku. Aku yakin ia mengerti maksudku tanpa harus menjelaskannya dengan kata-kata. Ia hanya melarikan tangan ke rambutnya lalu berbalik pergi.
''Terserahlah. Kalian kaum Hawa memang merepotkan.''
Itulah pertama kali aku melihatnya. Aku tidak tahu kalau ia mempunyai teman. Jangan salahkan aku, siapa yang menyangka dengan sifatnya yang seperti itu ia masih bisa berteman? Yang jelas bukan aku.
Menarik napas panjang, aku menghembuskannya keras-keras. Apa tindakanku ini benar adanya?
.
.
.
''Nah, seperti yang kujanjikan, ini bagianmu,'' kataku sambil menyerahkan sebuah kotak bekal ke pangkuannya. Hari ini cuaca cerah, angin berhembus sepoi-sepoi. Atap sekolah memang tempat yang paling nyaman untuk makan siang.
Dia menatapku. Hanya hal itu yang bisa dia lakukan untuk menanggapi segala tindakanku, selain mengangguk atau pergi begitu saja meninggalkanku.
''Ada apa? Kau tidak bisa membukanya?'' tanyaku sambil mengunyah sosis gurita yang baru kugoreng tadi pagi. Dia hanya diam melihat kotak bekal itu.
Aku memutar bola mataku sebelum membuka kain penutup kotak tersebut dan memperlihatkan isinya. Nasi putih, sosis goreng berbentuk gurita, telur dadar gulung, tomat kecil, dan yang lainnya. Bekal yang sama dengan yang kumiliki.
''Apa kau juga perlu disuapi?''
Dia mengambil sumpitnya sendiri dan mulai mengambil sedikit nasi. Nasi yang masih agak hangat itu dikunyahnya bersama dengan telur dadar gulung yang berwarna kuning keemasan. Tempo makannya lebih cepat dibandingkan dengan saat pertama kali makan bersamaku.
Aku tersenyum melihatnya memakan masakanku yang sudah kubuat sampai harus bangun pagi. ''Kau boleh makan, tapi jangan sampai belepotan dong.'' Aku menertawai cara makannya sambil mengambil butiran nasi yang ada di dekat mulutnya lalu memasukkannya bersama dengan kumpulan nasi lain yang dikunyahnya.
Dia tidak kelihatan protes dan membiarkanku melakukannya. Dia tetap melanjutkan acara makannya sendiri, dan aku melanjutkan bagianku.
Aku menyukai keberadaannya yang hampir tidak menimbulkan suara di dekatku. Sama seperti angin yang menerpa wajahku kemudian membelai rambutku dengan lembut. Sama seperti suara burung yang selalu menemaniku dari atas sana.
Dekat namun jauh. Jauh...
...namun terasa dekat.
.
.
.
Tidak terasa hubungan kami yang tidak jelas ini sudah berlangsung hampir seminggu, dan... Aku masih belum merasa mau putus dengannya.
Entah ini harus digolongkan kabar baik atau bukan, yang pasti hal itu sudah tersebar hampir ke seluruh sekolah. Cowo ini memang hebat. Segala hal yang berhubungan dengannya selalu menyebar dengan cepat. Tapi menjadi pusat perhatian sepertinya bukan tujuan utamanya berperilaku seperti zombie.
Saat bel pulang berbunyi aku harus segera berberes dan pergi ke tempatnya kalau tidak mau ditinggal.
''Hyuuga, tolong gantikan aku piket, ya.'' Tiba-tiba salah seorang dari mereka menghampiriku dan mencegah niatku untuk segera pergi dari kelas ini. Ingin rasanya menolak permintaan itu, tapi mulut ini serasa kaku dan suaraku tidak bisa keluar.
Belum sempat aku memberikan respon, ia pergi begitu saja sambil melambaikan terima kasihnya. Ia pergi bersama kawanannya ke karaoke box bertemu dengan kawanannya yang lain. Dan tadi dia bilang dia harus pergi untuk menjemput adiknya di TK?
Aku melihat sekelilingku. Bahkan satu orang lagi yang seharusnya ikut ber-piket bersamanya pun menghilang. Kurasa kali ini aku harus membiarkan dia pulang sendiri.
Dengan ogah-ogahan, aku membersihkan ruangan kelas itu seorang diri. Berharap agar matahari akan terbenam setelah aku sampai di rumah karena aku terlalu takut untuk pulang sendirian saat gelap.
Setelah beberes, aku berlari di koridor agar cepat sampai di bawah. Saat aku melewati ruang kelas 2-3 yang berada di sebelah kelasku, pintu kelas itu terbuka, memberi celah yang cukup untuk seseorang dapat mengintip apa yang ada di dalamnya.
Saat itulah aku mulai tidak mempercayai apa yang dilihat mataku dan yang tersampaikan ke otakku. Ruangan kelas yang bermandikan warna oranye matahari sore, tirai jendela yang menari dengan diiringi irama angin, disana ia duduk seolah-olah menjadi penonton dalam sebuah pertunjukan fenomena alam.
Ia duduk bersandar santai pada kursinya. Posisi yang sama dengan saat tiap kali aku melihatnya di kelas, dimana sekelilingnya selalu ramai dan dia selalu berdiam di situ. Arah yang sama ketika aku melihatnya sedang berada dalam pelajaran, entah ia memperhatikan guru atau tidak. Tempat yang sama dimana aku selalu menemukannya saat istirahat dan menyeretnya ke atap bersamaku.
Tiba-tiba dia beranjak dari tempatnya, membuatku sedikit terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba. Dia berjalan ke arahku tanpa melihatku meski hanya sekilas lalu melewatiku yang berada di ambang pintu begitu saja tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kurasa, meski tidak menunjukkannya, ia tahu kalau aku ada di sini.
Aku pun menyusulnya dari belakang menelusuri lorong sekolah yang panjang setelah melepaskan senyum kecil di bibirku.
.
.
.
Perjalanan pulang kami tidaklah istimewa. Tidak ada bergandeng tangan, maupun obrolan ringan. Jarak kecil yang ada di antara kami berdua hanya diisi oleh keheningan yang diselingi oleh suara langkah kami maupun tawa canda orang-orang yang melewati jalan yang sama dengan kami.
Untuk ukuran laki-laki, kupikir jalannya cukup pelan. Seharusnya dengan kaki yang panjang itu, dia bisa mengambil langkah yang jauh lebih lebar dari sekarang.
Karena aku mengambil jarak sekitar dua langkah di belakangnya, aku bisa melihat punggungnya yang lebar. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana dan sebelahnya lagi membawa tas sekolah. Kancing blazer hijaunya dibuka, menampilkan warna putih kemeja yang ia pakai. Dan bila angin bertiup, ujung blazer itu akan melambai, bersamaan dengan melambainya rambut pirang itu.
Kepalanya selalu agak tertunduk. Seperti tidak ingin melihat dunia, dan tidak peduli.
Tiba-tiba di depan kami, lewat sebuah bola sepak yang ditendang keluar dari taman yang kami lewati. Anak-anak yang sejak tadi bermain bola itu meminta agar bolanya yang bergelinding ke jalan diambilkan. Merasa tidak ada pergerakan lebih lanjut darinya, aku memutuskan untuk mengambil bola itu sendiri.
Saat tanganku menyentuh bola tersebut, tiba-tiba di depanku muncul sebuah siluet mobil yang berjalan ke arahku dengan kecepatan penuh. Aku bisa mendengar suara teriakan orang-orang di sekitarku yang menyuruhku untuk menyingkir, tapi kejadian ini terlalu tiba-tiba. Kakiku terlalu takut untuk melangkah, terlalu takut untuk beranjak. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu hanyalah menutup mataku rapat-rapat hingga aku tak bisa melihat atau mendengar suara apapun lagi.
.
.
.
Di dalam kegelapan dan keheninganku, aku bisa mendengar bunyi detak jantung dengan jelas. Apa ini detak jantungku?
Aku membuka mata perlahan, hanya untuk menemukan bahwa diriku sedang berada di dalam pelukan seseorang. Detak jantung yang bertempo cepat ini bukan milikku, melainkan pemilik tangan yang sedang melingkariku dengan erat.
Aku mendongak melihat pemilik tangan dan suara detak jantung itu. Mata birunya memandang ke arah mobil tadi pergi berlalu tanpa sempat berhenti maupun meninggalkan ucapan maaf dari si pengendara.
Aku ingat.
Sesaat sebelum mobil itu sempat menyenggol tubuhku, tanganku sudah ditarik terlebih dahulu oleh seseorang. Sampai sekarang pun ia masih belum melepaskan cengkramannya di pergelangan tanganku, bahkan aku masih merasakan sebelah tangannya yang melingkari pinggangku, menahanku untuk tetap lebih dekat dengannya. Dan aku belum pernah melihat wajahnya yang shock seperti sekarang.
''A... Ano...''
Ia tersadar dari shocknya kemudian melepaskanku. Ia berdiri dan merusak posisi kami yang sebelumnya. Ia mengambil tasnya yang sempat terlempar saat menolongku, lalu segera pergi dari tempat ini.
Aku menangkupkan kedua tanganku di dada, masih belum beranjak karena terlalu shock dengan semuanya yang berlalu begitu cepat.
Aku masih belum mengucapkan terima kasih padanya...
.
.
.
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar