Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 November 2013

To Know You part 7


Menghindar.

Menghindar dan terus menghindar, itulah yang selalu kulakukan selama beberapa hari ini.

Aku tidak pergi ke atap maupun berdiam diri di kelas karena aku tahu dia mencariku.

Pertanyaannya, kenapa dia mencariku? Kenapa ia tidak melanjutkan hidupnya yang sudah ringan tanpa beban saja? Terus terang, hal ini menggangguku.

Ia berkeliling sekolah, menanyakan apa ada yang melihat seorang gadis yang tingginya kira-kira sebahunya, berambut panjang berwarna biru tua dan memiliki warna mata seputih kertas bersih. Dasar bodoh, usahanya sia-sia saja karena tidak mungkin ada orang yang tahu tentang aku.

Aku berbalik arah dari arah yang ditujunya. Aku sedikit bersyukur dengan ketidak-tenaranku di sekolah. Setidaknya untuk saat-saat seperti ini, hal itu cukup berguna. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang gadis berambut biru tua dengan mata seputih kertas. Tidak ada yang tahu tentang Hyuuga Hinata.

''Kau Hyuuga 'kan?'' Aku salah. Ternyata ada yang tahu.

Sekarang di depanku berdiri tiga orang cewe dengan dandanan mencolok. Bertemu dengan mereka jauh lebih parah daripada menemukan kecoa di kamarku tadi pagi.

''Ikut kami!''

Memangnya kalau kukatakan 'tidak mau' mereka akan melepaskanku?

.

.

.

Dalam sekejap mata, aku sudah dibawa ke halaman belakang sekolah, dimana jarang ada orang yang lewat. Nggak nyangka aku bisa mengalami kejadian versi komik begini, walau bagian nggak enaknya.

''Apa benar kau pacaran dengan Naruto?''

Duh, yang begituan perlu ditanya? Gosipnya menyebar beberapa minggu lalu kenapa mereka baru muncul sekarang?

''Kalau benar memangnya kenapa?''

Tangan kanan cewe yang ditengah itu memukul tembok di sisi kiriku, pas di sebelah kepalaku. Bisa ditebak kalau dia pemimpinnya.

''Jaga ucapanmu. Kau cukup melakukan apa yang kukatakan.'' Ia mendekatkan wajahnya. Bau parfum mahal yang menyengat menusuk indra penciumanku, membuatku mual.

''Putuslah dengan Naruto. Ia terlalu bagus untukmu.'' Aku teringat sesuatu yang menarik. Dia salah satu dari cewe-cewe yang pernah putus dengan Naruto atas kemauan mereka sendiri. Heh! Apa sih mau mereka?

''Apa yang kalian inginkan?''

''Ah, tidak. Kami hanya ingin memberi selamat padamu. Selamat, akhirnya ada juga yang bisa bertahan dengan si mayat hidup itu. Kau pastinya sudah berjuang keras, ya?'' Mereka tertawa satu sama lain. Aku masih tidak mengerti apakah aku atau Naruto yang mereka ejek, tapi yang pasti, aku sangat marah.

''Tapi, sayang sekali, kau tidak pantas untuknya.'' Ia melihat ke arahku dengan mata yang sudah diberikan bulu mata tambahan, eye shadow dan eye liner. ''Kami berbaik hati dengan memberitahukannya padamu sebelum kau jadi bahan tertawaan. Apa yang akan dikatakan orang bila Naruto jalan berdua dengan orang sepertimu?''

Tidak perlu mereka katakan padaku pun aku sudah tahu. Kami tidak cocok. Bila ia berdua denganku, hanya akan jadi bahan tertawaan. Kami sudah pernah mencobanya. Tapi, siapa yang mau menyerah di depan cewe seperti ini.

''Heh! Terima kasih atas pujiannya.''

''Apa katamu?'' Sepertinya ia tak menduga reaksiku.

''Kubilang, terima kasih atas pujiannya. Aku tahu bahwa semua orang akan iri padaku kalau aku berjalan berduaan dengannya. Tidak seperti kamu yang jadi bahan tertawaan.''

''Apa? Asal tahu aja, ya. Cewe jelek seperti kamu tuh nggak pantes sama Naruto!'' Keluar deh sifat aslinya. Kalau ditanganku ada cermin, rasanya pengen banget ngasih liat dia dandanannya yang retak gara-gara alisnya berkerut.

''Oh, aku tahu. Kamu pasti cuma pengen pamer 'kan?'' Dimulailah semua tuduhan, ''Kamu cuma mau pamer punya cowo cakep 'kan? Huh! Gak bakal mempan deh. Secakep apapun cowo yang kau bawa, gak bakal bisa nutupin wajahmu yang jelek itu. Yang ada malah kebanting tahu! Sadar dong, jelek!''

Untuk hal seperti ini, rasanya hanya butuh satu kalimat singkat, ''Hah? Maksudmu kamu?'' tanyaku, membalikkan seluruh tuduhan pada dirinya sendiri.

Rasa marah dan kesal meningkat drastis karena diremehkan olehku, si jelek ini. Cewe berambut coklat terang dengan dandanan tebal itu stress sampai ke ubun-ubun. Dia mengangkat tangannya bersiap untuk memukulku, dan aku menutup mataku, bersiap untuk menerima pukulannya.

Aku masih berandai-andai. Kalau benar ini meniru cerita komik cewe dimana ada cewe yang ditindas diselamatkan oleh pemeran utama cowonya, seharusnya cowo itu boleh dateng sekarang.

Baru saja aku berpikir begitu, tamparan yang seharusnya kuterima tidak kunjung datang. Begitu aku membuka mataku, ''Apa yang kalian lakukan?'' Hahaha, ternyata pangeran berkuda putihku benar-benar datang, hahaha...

Sial.

Tahu begini, aku lebih memilih ditampar.

''N-N-Naruto? I-Ini bukan seperti yang kamu lihat kok.'' Tangan yang seharusnya mendarat di pipiku itu tertahan oleh sebuah tangan yang lebih besar. ''T-tadi aku cuma mau memukul laba-laba yang ada di dinding itu kok. Iya 'kan, Hyuuga?'' Dia memberiku tatapan berani-bilang-tidak-kubunuh-kau. Tapi siapa peduli? Disana nggak ada laba-laba lewat.

''K-kami kesini hanya untuk bertanya pada Hyuuga tentang cara menjadi salah satu anggota perpustakaan kok. Iya 'kan?'' Dia bertanya pada kedua pengikutnya dibelakang dan mereka hanya mengangguk-angguk. Kemudian ia terus mengoceh mengenai alasan yang sangat meragukan itu tanpa ditanya. Aku saja tidak yakin apakah mereka pernah melangkahkan kaki di perpustakaan.

Setelah berceloteh sendiri cukup lama, ia pergi dengan membisikkan sesuatu seperti aku-pasti-akan-balas-dendam padaku. Sekarang hanya tinggal kami berdua. Sial banget sih hari ini.

''Aku mencarimu...'' Suaranya terdengar memelas, ''Kemana saja kau...?'' Aku tidak dapat melihat ke arahnya.

''Apa maksudmu? Aku selalu disekolah kok. Sudah ya.'' Aku ingin segera kabur dari tempat ini, tapi genggaman tangannya segera menghentikanku.

''Hinata!'' Baru kali itu aku mendengarnya memanggil namaku, menyebut namaku. Aku ingin memintanya mengulang hal itu berulang kali, tapi tak mungkin.

Aku segera melepas tangannya, menepisnya. Seperti yang pernah ia lakukan padaku.

''Apa yang kau inginkan?''

Ia mengerutkan alisnya sebelum bertanya padaku, ''Kenapa kau menghindariku?''

Aku memaksakan diriku untuk tertawa. ''Menghindar? Untuk apa aku menghindar darimu? Seperti orang bodoh saja.'' Dan aku memang bodoh.

''Oh iya, karena kau sudah ada di sini, aku mau menyampaikan hal ini padamu.'' Dadaku terasa nyeri. ''Kita putus.''

Wajahnya terlihat shock. ''Apa? Tapi kenapa?''

''Kenapa katamu?'' Aku mencoba mengingat bagaimana semua peran antagonis di drama-drama yang pernah kutonton memainkan nada suaranya, dan kucoba untuk menirunya semirip mungkin. ''Mudah saja. Aku sudah bosan padamu.''

Dia terlihat tak bergeming.

''Yah, begitulah. Aku mulai bosan padamu. Kau yang dulu lebih menarik perhatian. Kau yang sekarang tidak ada bedanya dengan laki-laki manapun.''

Tidak

''Kau...''

''Apa? Mau bilang aku jahat? Aku sama dengan semua cewe yang pernah bersamamu?''

Tidak

''Silahkan saja. Toh, itu memang benar.''

Kumohon, siapa saja, tolong hentikan aku!

''Aku mau pacaran denganmu karena kupikir kau tipe yang sulit ditaklukkan, dan ada sesuatu yang menarik di masa lalumu. Ternyata kau sama saja dengan para pecundang yang kehilangan semangat hidup hanya karena patah hati di luar sana.''

Kalau begini terus, aku hanya akan melukai hatinya

Ujung baju lenganku tak berhenti kuremas, ''Ah, ya. Dan satu lagi. Kau itu seperti permata yang bisa kupakai dengan bangga saat bepergian, jadi aku tidak keberatan bersamamu, walau sekarang aku merasa bosan.'' Aku beralasan dengan tidak memandangnya.

''Hinata, lihat mataku!'' perintahnya.

Aku melakukannya. Aku melakukannya setelah memastikan pandangan mata yang kuberikan adalah pandangan mata serius dimana tidak ada secuil pun keraguan maupun kebohongan di dalamnya.

Pandangannya melemah. Saat dia menundukkan kepalanya, aku tahu bahwa aku telah menyakiti hatinya. Dia berjalan melewatiku sambil berbisik, ''Maaf telah mengecewakanmu.''

Aku tak bergeming. Aku tak boleh goyah sampai dia pergi menjauh. Aku tak boleh goyah sampai dia tidak akan terlihat lagi. Aku tak boleh jatuh sampai dia benar-benar tidak akan bisa melihat air mataku yang keluar.

''Maaf... Maaf... Maafkan aku...''

Suara yang parau, napas yang tercekat. Aku tidak akan pernah bisa untuk tidak melukainya. Apapun yang kulakukan pada akhirnya pasti hanya akan menimbulkan luka baru pada dirinya.

.

.

.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar