Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 November 2013

To Know You part 2


''Oi!''

Aku menoleh ke arah sumber suara itu dan mendapatkan seseorang yang tak ingin kutemui.

''Cowo nanas.''

''Hentikan panggilanmu itu. Tidak enak didengar, tahu.''

Aku tidak mempedulikan ocehannya. ''Mau apa kau?'' tanyaku sambil kembali pada pekerjaanku, membuang sampah.

''Terima kasih.''

Sekarang aku menatapnya dengan tatapan kau-sudah-gila-ya-?

''Jangan melihatku seperti itu!'' Sepertinya dia mengerti kalau dia dihina, ''Aku mengucapkan terima kasih padamu karena ternyata kau bisa berpacaran dengannya lebih dari seminggu, bahkan hampir dari dua minggu.''

Bukannya lebih tepat kalau diberi ucapan selamat daripada terima kasih?

''Dan juga...'' dia seperti mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Tidak seperti aku yang waktu itu langsung ceplas-ceplos. Sampai sekarang aku masih tidak habis pikir kenapa saat itu aku bisa berkata seperti itu.

''...mungkin karena bersamamu, akhir-akhir ini dia agak berubah.''

Ok, kali ini aku benar-benar bingung. Berubah? Sebelah mananya? ''Berubah...?''

''Hmm... Bagaimana ya... Belakangan ini, kalau ditanya dia sudah bisa mengatakan pendapatnya, walaupun hanya sekedar mengeluarkan satu atau dua patah kata dengan suara kecil. Tapi itu lebih baik daripada dia hanya mengangguk, atau lebih parah, tidak peduli sama sekali.''

Dia memberi respon pada cowo nanas ini? Kenapa? Padahal kalau denganku, dia tetap seperti saat kami pertama kali berbicara. Terutama sejak kejadian saat itu.

Aku membuka sedikit celah di mulutku, ''Kalau terlalu perhatian padanya, kau bisa dikira gay loh,'' hanya itu kalimat yang bisa kuberikan untuknya saat ini.

''Diam kau! Aku tidak memintamu mengomentari bagian itu.'' Terlihat semburat garis merah di pipinya. Masa' sih kata-kataku tepat?

Segera, dia mengubah emosinya yang tadi sempat naik, ''Yah, pokoknya aku sudah mengucapkan terima kasih untukmu. Dan... Kupikir kau memang agak berbeda dengan cewe lain yang pernah berpacaran dengan Naruto. Kau tidak punya niat untuk memanfaatkan Naruto.''

Nyut

Sakit.

''Kau sudah membuktikan kata-katamu waktu itu kalau kau sama sekali tidak mengincar wajah ataupun ketenaran Naruto. Kau melihat satu sisi lain darinya.''

Nyut

Dadaku sakit.

''Yah, terlebih, Naruto sendiri sepertinya tidak keberatan bersamamu. Karena itu...'' dia tersenyum lebar padaku, ''... Tolong temani Naruto terus, ya. Kupercayakan dia padamu.''

Nyut

Dia pun pergi berlalu bersama dedaunan yang terbang dihembus angin.

''...kau memang agak berbeda dengan cewe lain... Kau tidak punya niat untuk memanfaatkan Naruto.''

Bukan

''Kau melihat satu sisi lain darinya.''

Bukan begitu

''Naruto sendiri sepertinya tidak keberatan bersamamu.''

Aku sama sekali tidak baik

''Kupercayakan dia padamu.''

Aku sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan

Seluruh ucapannya terus terngiang di telingaku. Setiap kata-katanya membuat dadaku sakit, seperti diiris selembar demi selembar secara perlahan. Setiap penggalannya menambah beban dalam hatiku. Aku hanya bisa meremas bajuku.

Jangan tersenyum padaku

Aku sama sekali bukan orang yang baik

.

.

.

Kakiku membawaku menelusuri tangga yang membawaku ke tempat dimana aku selalu menjernihkan pikiranku. Setiap langkah yang kujalani terasa berat, dan semakin berat.

Aku mengeluarkan jepitan hitam yang kecil, kunci menuju duniaku sendiri. Saat aku memasukkan jepitan itu ke lubang kunci, aku sadar bahwa dunia itu bukanlah milik pribadiku lagi. Seseorang telah memasukinya.

Kuputar knop pintu yang kuncinya telah terbuka lebih dulu itu lalu mendorongnya. Disana aku menemukan dia.

Tempat dimana kami makan bersama. Bedanya, kali ini tidak ada bekal makanan di sana. Hanya ada dia yang sedang berbaring sendirian dengan wajah mengarah pada langit.

Aku berjalan pelan mendekatinya, ingin tahu reaksinya bila tahu aku ada di sini. Aku berhenti setelah kedua kakiku dengan kepalanya dekat.

Matanya terpejam. Rambutnya tersebar ke segala arah, memperlihatkan keningnya yang tanpa cacat. Dia tertidur dengan damainya. Aku berlutut untuk melihat wajahnya lebih dekat, dan memandangnya untuk waktu yang lama.

''Naruto sendiri sepertinya tidak keberatan bersamamu.''

Dadaku masih terasa sakit bila mengingat kata-kata dari cowo nanas. Aku tidak pantas menerima ucapan terima kasihnya. Aku tidak pantas mendapatkan kepercayaannya. Aku sama dengan semua cewe lain yang pernah berpacaran dengan Naruto.

Aku menempelkan keningku dengan miliknya.

''Maafkan aku... Maafkan aku...''

Aku sama sekali bukan orang yang baik. Aku hanyalah perempuan jahat.

Berulang kali aku mengucapkan hal yang sama padanya, berharap dia akan melakukan apa yang kuminta dalam setiap kata yang keluar dari mulutku, meski aku tahu dia tidak akan mendengarnya. Kata-kata itu juga kubisikkan dengan suara pelan.

Karena...

...aku tidak tahu apa yang harus kulakukan bila ia terbangun dari tidurnya.

.

.

.

Gawat.

Ini gawat.

Aku tidak terbiasa mendapatkan pandangan sebanyak ini.

''Kita pergi yuk.'' Mendengarku berbicara seperti itu, dia hanya melihatku dengan pandangan aneh.

''Ayolah, hanya jalan-jalan di kebun binatang kok.'' Tampangnya kelihatan ogah-ogahan.

''Kutunggu besok jam satu siang di depan Zoo-Zoo ya. Awas kalau kau tak datang, aku akan menghantuimu malam-malam.'' Memang ancaman seperti ini tak bisa dipercaya, buktinya dia langsung pergi.

''Hei! Aku benar-benar akan menunggumu sampai kau datang loh!''

Meski tidak bilang apa-apa, tapi dia datang juga hari ini.

Sekarang yang jadi masalah...

''Eh, liat deh. Cowo itu cakep banget ya.''

''Iya, keren banget. Style-nya juga ok.''

''Tapi yang di sebelahnya itu siapanya dia, ya. Pacar?''

''Ah, nggak mungkin. Paling-paling sepupu atau saudara jauh. Paling banter, temen doang kali. Mana mungkin tuh cowo mau pacaran sama cewe biasa begitu. Bukan biasa, jelek malah, kampungan.''

''Iya, ya. Liat aja tampang tuh cowo. Muram, nggak senyum. Dia juga pasti nggak mau jalan bareng sama tuh cewe. Hahahahaha...''

''Psst, pelanin suaramu. Nanti kedengeran.''

Biar dibilang pelanin suara, udah kedengeran kali. Suara kalian besar begitu. Nggak cuma kedua cewe itu, banyak juga yang lain.

Sampai saat ini, sudah banyak yang melirik ke arah kami lalu memuji dia dan mencibirku. Ada juga yang mengajaknya kenalan atau ngobrol, sebagian dari cewe-cewe itu bahkan punya pacar yang ada di sampingnya. Alhasil, pacar cewe-cewe itu marah-marah lalu menyeret mereka pergi. Yang paling parah, ada yang datang lalu mengajak Naruto pergi meski mereka sudah melihat aku berada di sampingnya, tapi mereka ditolak keras oleh Naruto dengan tatapan yang menusuk. Baru kali ini aku melihatnya marah.

Aku tidak heran dengan reaksi orang-orang di sekitarnya, mengingat mudahnya ia mendapat pacar baru setelah satu hari diputus oleh seorang cewe. Aku menghela napas. Tahu begini, aku lebih memilih untuk diam di rumah.

Tapi tak kusangka, banyak juga pasangan yang pergi ke kebun binatang. Kupikir tempat kencan itu terbatas seperti taman bermain, restoran, mall, atau semacamnya.

Begitulah, disini kami hanya melihat-lihat binatang yang umum. Gajah, jerapah, kuda nil, monyet, apa perlu disebutkan semua? Tidak banyak yang istimewa dari kebun binatang kecil di pinggiran kota ini. Intinya, cukup membosankan.

Lagipula, daripada binatang, aku merasa kalau kami yang jadi bahan tontonan cewe-cewe yang ada di sini.

Setidaknya kebun binatang ini menyediakan tempat dimana para pengunjungnya diizinkan berinteraksi dengan para binatang jinak.

''Hei, kita kesana, yuk,'' ajakku sambil menunjuk tempat para binatang itu dikeluarkan dari kandangnya. Dia hanya mengangguk setuju.

Disana ada kelinci, kambing, burung unta, dan beberapa binatang jinak lainnya. Daripada pasangan muda, disini lebih banyak yang membawa keluarganya. Anak-anak bersama para orang tua, ada juga kakek-nenek yang duduk di tempat yang disediakan. Benar-benar seperti taman bermain dengan binatang.

Terpesona dengan para binatang, aku berlari menghampiri mereka. Mengelus kelinci dengan bulu lebat, bersama anak-anak lain memberi makan burung, kupikir hari ini tidaklah terlalu buruk.

Baru saja aku berpikir begitu, tiba-tiba ada yang menyambar topiku. Saat aku melihatnya, ternyata seekor anak monyet. Ia berlari memanjat pohon lalu memakai topi berwarna kuning itu di kepalanya lalu berteriak 'uki-uki'. Sepertinya senang sekali. Aku ingin mengambil topi itu, tapi aku tidak bisa memanjat pohon. Anak-anak lain hanya memandang monyet yang tertawa itu dengan tatapan kagum atau senang. Dasar anak-anak.

Saat aku berniat menyerah, aku tak menyangka ada orang yang berniat menolongku. Dengan mudahnya ia memanjat pohon itu dan mengambil topiku dari monyet kecil itu. Anak-anak lain langsung bertepuk tangan melihat aksi cowo itu ketika ia melompat dengan kerennya dari atas. Aku sendiri hanya bisa tertunduk malu saat ia mengembalikan topiku. Tetap tanpa ekspresi.

''Kakak, kakak,'' aku merasa ada seseorang yang menarik ujung bajuku yang ternyata seorang anak perempuan berusia sekitar 5 tahun, ''Yang tadi itu pacar kakak, ya? Keren deh.'' Wajahku memerah karena komentarnya. Untung Naruto sudah pergi menjauh, jadi dia tidak bisa melihat reaksiku.

Tanpa kusadari mataku mengikuti kemana dia pergi. Ia dikelilingi banyak binatang dan anak-anak. Lalu, yang paling tak kusangka, ia tersenyum. Pandangan matanya tidak lagi kosong, tetapi melembut. Tatapannya saat ia bermain dengan anak-anak sangat berbeda dengan saat ia di sekolah.

Kuharap, tatapannya bisa terus tetap seperti itu.

.

.

.

Ketika matahari sudah letih berada di langit, ia mewarnai langit dengan warna oranye yang kemudian ditemani warna ungu kelam yang datang bersama bulan.

Sekarang kami berada di bawah langit yang berganti jam jaga itu. Seperti biasa, tidak ada yang mau sukarela jadi pembicara di antara kami berdua. Keadaan ini terus berlanjut sampai tempat dimana biasanya kami berpisah sudah dekat.

Aku mengambil tindakan dengan berjalan di depannya lalu berbalik menghadapnya.

''Terima kasih... karena kau mau datang.''

Dia tidak membalas ucapanku, melainkan menggerakkan tangannya seperti orang yang memakai topi. Aku mengerti apa yang dimaksud.

''Oh, topiku? Karena saat kau mengembalikannya padaku monyet itu seperti terlihat sedih, jadi kuberikan topi itu padanya,'' aku mengingat kejadian tadi siang, ''Maaf ya, jadi menyia-nyiakan usahamu.''

Dia tidak berkomentar apapun.

''Ah, pokoknya terima kasih kau mau datang. Setidaknya nanti malam aku tidak perlu menghantuimu,'' kataku mencoba bercanda.

Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke milikku, lalu bibirnya ke telingaku, dan membisikkan sesuatu di sana.

Aku merasakan panas di bagian wajahku, kupikir wajahku memerah oleh karena tindakannya yang tiba-tiba. Dia pun pergi ke arah rumahnya. Aku yakin sesaat tadi aku melihat salah satu sudut bibirnya naik sedikit.

Kakiku membawaku berlari sejauh mungkin dari sana. Pipiku memerah, wajahku panas, dadaku berdebar-debar. Tapi senyum tak pernah menghilang dari wajahku.

''Terima kasih''

Aku terlalu bahagia sampai tidak mengetahui siapa yang ditemuinya setelah berpisah denganku.

.

.

.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar