Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 November 2013

To Know You part 6


''Yo, Shikamaru!''

''Hmm...''

Di depan kami, datang tiga orang yang tak kukenal. Dua orang laki-laki dan satu perempuan. Yang perempuan sepertinya tipe pesolek. Rambut pirangnya yang panjang dikuncir kuda dan poninya menutupi sebelah matanya. Matanya diberi eyes shadow yang cukup tebal, memperjelas warna biru dari iris matanya yang besar. Ia memakai pakaian yang modis sesuai dengan dandanannya untuk menutupi tubuhnya yang berlekuk itu.

Salah satu di antara laki-laki itu ada yang bertubuh gemuk. Sejak datang yang dia lakukan hanya berkutat pada keripik kentang yang dia bawa. Rambutnya cukup panjang dan ada tanda spiral di setiap pipinya. Sepertinya ia orang yang ramah.

Yang terakhir memiliki rambut berwarna coklat yang style-nya sama seperti Naruto. Di kedua sisi pipinya terdapat tanda segitiga merah. Warna kulitnya coklat, seperti terbakar matahari. Tampaknya seperti orang yang easy-going.

''Heeh? Sejak kapan kau punya pacar, Shikamaru?'' tanya laki-laki yang memiliki tanda segitiga itu. Pastinya ia menunjuk ke arahku.

Aku bersembunyi di balik cowo nanas dan menarik ujung bajunya, mengharapkan perlindungan. Pada akhirnya, aku memang bukan tipe yang cepat bersosialisasi. Tapi, saat mendengar pertanyaan itu, sesuatu melintas di otakku.

Jadi namanya Shikamaru?

Jujur saja, aku baru tahu namanya.

''Yang benar saja. Punya pacar itu merepotkan,'' jawabnya dengan nada suara yang malas.

''Kalau begitu kenapa dia mengikutimu?''

Sebelum menjawab, dia menghela napas terlebih dahulu. ''Dia pacar Naruto.''

''EEKH?'' Reaksi ketiga orang ini ternyata cukup menarik. Terutama wajah mereka.

''Yang benar saja, kupikir kau bercanda saat kau bilang Naruto pacaran terus. Ternyata benar,'' ucap si pirang.

''Yah, pokoknya kenalan dulu.'' Ia melihat ke arahku lalu menunjuk temannya satu-persatu, ''Kenalkan. Yang ini Ino.'' Dia menunjuk yang cewe.

''Yang ini Chouji,'' ia menunjuk yang berbadan besar, lalu berbisik padaku, ''Jangan pernah panggil dia gendut atau mengejek ukuran badannya. Kau tidak akan tahu apa yang bisa dia lakukan.'' Karena itu aku memutuskan untuk memanggilnya si keripik kentang.

''Lalu yang terakhir ini Kiba.''

Mereka semua menyapaku dengan baik. Sepertinya aku tidak punya alasan untuk takut pada orang-orang ini.

''Ino, Chouji, Kiba, kenalkan. Ini Hinata.'' Aku terkejut atas pengenalan itu.

''Hei, bagaimana kau tahu namaku? Aku belum memberitahumu 'kan?'' Aku berbisik padanya agar tidak ketahuan yang lain.

''Apa? Kau pikir aku ini orang yang bisa berbicara dengan seseorang tanpa tahu namanya seperti kamu?'' balasnya sambil berbisik. Jadi dia tahu kalau aku tidak tahu namanya?

Hari ini aku datang ke sini karena dipanggil oleh si cowo nanas. Dia menyuruhku untuk datang bersamanya membahas masalah Naruto.

Benar. Tadi malam ia meneleponku, memberi kabar mengenai keputusan yang akan diambil Naruto. Sepertinya ia sudah menentukan apa yang harus dilakukannya untuk kembali 'hidup'.

Tapi bagaimana dia bisa tahu nomor telepon rumahku?

Kupikir aku harus lebih hati-hati pada cowo ini. Sepertinya jaringan informasinya sangat bagus.

Menurut cowo nanas, ia berniat untuk bertemu kembali dengan kedua temannya yang dulu, berniat memperbaiki keadaan. Mungkin pada dasarnya, ia memang ingin keadaan kembali seperti dulu, saat dimana ia bisa tertawa bersama teman-temannya.

Setelah perkenalan basa-basi, percakapan ringan dan mengenang masa lalu, aku mengenal mereka semua sebagai orang yang baik. Dan hasil pembicaraan ini adalah mereka berniat untuk melihat jalan cerita pertemuan kembali ketiga temannya yang tak bertemu hampir selama 2-3 tahun itu.

''Maaf, aku tidak ikut,'' ujarku. Mereka sepertinya agak terkejut mendengar suaraku.

''Kenapa? Bukankah kau juga mengkhawatirkan Naruto?'' Tepat saat mengucapkan hal itu, pintu kaca restoran keluarga itu terbuka. Di sana berdiri seorang wanita dengan rambut yang panjangnya mencapai pinggang. Matanya berwarna hijau terang. Tubuh ideal dengan tinggi badan yang sesuai.

Cantik

Itu kesan pertamaku padanya. Sekali melihat, aku langsung tahu bahwa dialah Sakura, cewe yang tak bisa dilupakan Naruto. Seperti yang diceritakan cowo nanas, rambutnya yang berwarna pink sangat menyolok. Cewe yang sekarang mencari tempat duduk itu memiliki 'sesuatu' untuk disukai. Perawakannya, penampilannya, aku yang pertama kali melihatnya saja tahu bahwa dia istimewa.

Kami berlima hanya berdiam diri saat melihatnya mengambil tempat duduk dan memesan pada waitress. Sesaat kemudian, datang seorang pemuda berkulit putih dengan rambut biru gelap. Warnanya kurang lebih mirip denganku. Kulitnya pucat dan bola matanya hitam pekat.

Saat ia memasuki restoran sederhana ini, semua pandangan tertuju ke arahnya. Kehadirannya seperti menyedot segala perhatian. Aura yang dikeluarkannya sangat berbeda. Untungnya kami mengambil tempat yang tidak terlalu mencolok agar tidak ketahuan. Sepertinya ia langsung mengenali keberadaan 'teman' lamanya itu lalu menghampirinya. Ia langsung duduk bersebrangan dengan cewe itu tanpa mengatakan apapun atau memberi salam. Hal yang sama juga berlaku pada cewe itu.

Aku menyeruput habis jus alpukat yang kupesan sebelumnya lalu bangkit berdiri, berniat segera pergi dari tempat itu. Aku merasakan pandangan mereka yang bertanya 'kenapa'.

''Meskipun kita disini, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mereka. Masalah ini hanya bisa diselesaikan oleh mereka sendiri,'' ujarku.

''Tapi ''

''Dia benar.'' Untuk pertama kalinya aku mendengar suara cowo nanas keluar untuk membela pendapatku, ''Aku juga tidak ikutan. Tidak ada gunanya kita membuang-buang waktu disini. Ayo pergi, Hinata.''

Ia mengajakku pergi setelah meregangkan badannya. ''Kalau hal ini sudah selesai, ceritakan saja pada kami. Kami ada di Bon-Bon Cafe yang ada di ujung jalan.''

Sebelum aku pergi bersama cowo nanas, aku melihatnya memasuki restoran ini. Sekilas pandangan mata kami bertemu, tapi tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku sempat melihat matanya yang telah membuat keputusan dan saat ia menghampiri temannya sebelum akhirnya aku keluar dari pintu belakang bersama cowo nanas agar tidak terlihat oleh mereka.

Hanya satu yang kuharapkan dari pertemuan ini.

Semoga matanya bisa berwarna seperti langit yang cerah.

.

.

.

Tluk tluk

Suara benturan gelas kaca dengan sendok plastik bening yang kumainkan terdengar sangat pelan, dan mengikuti alunan nada yang mengalir di kepalaku. Parfait buah yang kupesan untuk menghabiskan waktu, sekarang hanya tersisa sepotong buah semangka di dalamnya.

Tluk tluk

''Bisakah kau hentikan suara yang menganggu itu?'' Sepertinya aku menganggu waktu tidurnya. Entah sudah berapa lama kami menunggu disini. Kebosanan sudah menghantuiku sejak tadi. Ditambah lagi cowo nanas yang menemaniku daritadi hanya bisa tidur.

Setiap kali aku melihatnya, tampangnya selalu terlihat malas dan mengantuk. Sebenarnya tiap malam dia tidur nggak sih? Seumur-umur kenal orang, cuma dia yang selalu kelihatan ngantuk setiap saat.

Aku menyentuh bekas berwarna merah yang pernah ditinggalkannya saat itu. Rasa sakit di salah satu area yang sensitif di bagian tubuhku itu masih terasa nyata.

Sialan. Ini sih bukan 'Kissmark', tapi 'Teethmark'.

Apa aku boleh menganggap itu salah satu caranya membagi rasa sakit yang dialaminya?

Memanggil waitress, aku memesan kembali menu yang sama untuk yang kelima kalinya. Kemudian kembali lagi mengganggu cowo nanas dengan memainkan sendokku.

Tiba-tiba tangannya yang lebih besar mengenggam tanganku, menghentikan gerakanku. ''Kau ini nggak bisa dibilangin, ya?'' Tampangnya kusut abis.

''Hei, kalian ini bener nggak pacaran?'' Mata kami menoleh ke arah cewe pirang yang menghampiri kami. ''Kenapa kalian berpegangan tangan?''

Kami melihat tangannya yang mengenggam tanganku, lalu kembali ke gadis itu. ''Kami nggak pacaran.''

''Dia pacar Naruto,'' ujar cowo nanas.

''Aku pacar Naruto.'' Aku mengulang pernyataannya.

Gadis yang kukenal bernama Ino tadi hanya bisa menghela napas, lalu mengambil tempat duduk di sebelah cowo nanas.

''Lalu bagaimana ceritanya?'' tanya cowo nanas. Ia menjadikan tangannya sebagai tumpuan kepala. Waitress yang sempat kupanggil tadi, datang dengan membawa pesananku.

Aku pun mendengar cerita Ino sambil menikmati parfait buah size large, setelah menerima pandangan tak percaya dari cowo nanas.

.

.

.

Menit demi menit berlalu. Jarum jam tetap bergerak tanpa ada yang memperhatikan. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mau sukarela menjadi pemecah keheningan. Sampai waitress yang bertugas untuk mengantarkan pesanan pun berjalan ke meja itu dan meletakkan pesanan dengan canggung.

Dua lelaki tampan dan seorang wanita cantik. Tak ada satu orang pun yang ingin melewatkan pemandangan ini. Tapi lebih baik bila mereka melihat dari jauh, sebab bila mendekat, mereka bisa merasakan aura berat yang mengelilingi ketiga orang tersebut.

''Sudah lama sekali ya...'' Selalu dia yang memecahkan keheningan diantara mereka. Perempuan berambut pink dan pemuda berbola mata hitam itu melihat ke arahnya. ''Bagaimana kabar kalian?'' Suaranya yang agak pelan dan kedengaran tertahan hanya menunjukkan bahwa sebenarnya ia tak ingin berada di sini, tapi dia harus.

Ia sendiri agak canggung mendengar suaranya, mengingat berapa banyak waktu dimana ia lebih memilih untuk membisu.

''Aah,'' kali ini giliran yang perempuan. Urutan yang tak berubah. ''Sekarang aku sekolah di sekolah putri S. Disana sangat menyenangkan.'' Kemudian mereka melihat ke pemuda yang belum berbicara itu.

''Seperti yang kalian tahu, aku melanjutkan sekolahku di Amerika. Sekarang sedang masa liburan, jadi aku datang ke Jepang.'' Kemudian kembali hening.

''Emm... Ba-bagaimana denganmu, Naruto?'' tanya gadis itu, ragu-ragu.

''Ah, aku...'' Suaranya tidak seriang dulu. ''Aku baik-baik saja kok.'' Dan percakapan pun kembali terhenti.

Detik-detik kembali berlalu. Walau baru sebentar, rasanya waktu berjalan sangat lama.

''Aku,'' merasa sebagai orang yang bertanggung jawab atas renggangnya hubungan mereka, gadis itu angkat bicara, ''Aku menyesal... Atas apa yang telah kuperbuat pada kalian berdua. Terutama,'' ia melihat ke arahnya, ''...padamu Naruto.''

Ia melanjutkan, ''Waktu itu aku terlalu termakan emosiku, sampai-sampai aku tidak mengerti lagi apa yang kuperbuat. Aku benar-benar menyesal atas perbuatanku dulu.'' Ia pun menundukkan kepalanya dan mengepalkan tangannya dengan erat.

Sejenak kemudian, pemuda bernama Sasuke itu juga memulai pembicaraan. ''Bukan semuanya salah Sakura. Yang paling bersalah adalah aku. Kalau saja aku tidak egois, maka kita tidak akan...'' Ia tak bisa melanjutkan kalimatnya.

Suasana kembali canggung. Mereka berdua menunggu reaksi dari teman mereka yang biasanya selalu riang, tapi tak ada respon sama sekali, sampai...

''Ha... Haha... Hahaha...'' Tawa yang dipaksakan itu keluar dari mulutnya, ''Hahaha... Wajah kalian aneh sekali.''

Kedua orang itu tak bisa membalas tawa tersebut. Mereka tahu tawa itu hanya menanggung kepedihan.

Naruto melepaskan napas panjang sebelum mulai berbicara, ''Aku juga payah. Tidak seharusnya aku percaya begitu saja kalau Sakura mau berpacaran denganku tiba-tiba.'' Kepalan tangan Sakura bertambah erat mendengar bagian itu. ''Naruto, hal itu ''

''Padahal aku yang paling tahu kalau kau sangat menyukai Sasuke,'' ia tersenyum pada gadis itu. Sakura jadi tidak bisa berkata apa-apa.

''Tapi,'' ia menyenderkan tubuhnya di kursi dan mendongakkan kepalanya, ''Kurasa sudah bukan saatnya lagi kita seperti ini.''

Sasuke tersenyum simpel. ''Kau benar. Bagaimanapun juga, kita tidak boleh terus-terusan memikirkan masa lalu.''

Sakura menggigit bibir bawahnya, ''Aku... Setelah berpisah dari kalian, aku mulai meng-instropeksi diriku sendiri. Mungkin perasaanku pada Sasuke saat itu hanya sekedar rasa suka biasa.'' Kedua pria itu diam, mendengarkannya dengan seksama.

''Kupikir, kalau sampai perasaanku bisa membuatku buta hingga tidak menyadari perbuatanku dan menyakiti seseorang, kurasa itu bukanlah rasa cinta yang kuinginkan. Setelah perasaanku lebih tenang, yang ada padaku hanyalah rasa bersalah. Dan aku selalu ingin minta maaf pada kalian berdua.'' Ia menatap kedua temannya, ''Maaf, ya.''

Naruto dan Sasuke tersenyum. Mereka meregangkan bahunya yang tegang karena tekanan atmosfer yang mengumpul di sekitar mereka. Kini udara di antara mereka sudah kembali normal.

Mereka saling menertawakan dan mengejek penampilan mereka. Meski tidak saling dikatakan, mereka tahu dalam diri masing-masing, mereka sudah saling memaafkan dan memiliki keinginan untuk memulai langkah yang baru. Untuk selanjutnya, hubungan mereka akan lebih erat daripada sebelumnya.

''Tapi aku benar-benar bersyukur, kau sudah mau memanggil kami, Naruto,'' ujar gadis bermata hijau itu.

''Benar. Tiba-tiba saja semalam kau meminta Shikamaru untuk menelpon kami semua dan mengatakan ingin bertemu. Untung saja kemarin aku sudah sampai di Jepang.'' Sasuke melanjutkan sambil mengingat betapa terkejut dan gugupnya ia saat ditelepon oleh teman lamanya yang pemalas itu.

''Ah... Ya...'' Hanya komentar pendek itu saja yang bisa dijawabnya.

''Apa ada sesuatu yang mengubah pikiranmu, Naruto?''

''Yah...''

''Lepas! Sakit tau!''

''Mungkin...''

''Sebagai permintaan maaf, kau harus melakukan satu hal untukku.''

''Ada satu anak yang katanya tidak peduli padaku...''

''Mau tidak mau, pokoknya harus! Gigitanmu ini sakit sekali tahu.''

''Tapi pada akhirnya, dia selalu memperhatikanku...''

''Jangan melihat ke langit maupun ke tanah.''

''Dia berbeda dengan semua cewe yang pernah mendekatiku.''

''Jawaban yang kau cari tidak ada disana.''

''Mungkin, tanpa kusadari... Dia sudah membuka pintu duniaku, dengan mendobraknya...''

''Arahkan pandanganmu lurus kedepan, dan kau akan tahu apa yang ingin kau lakukan.''

''Anak itu pasti baik sekali, ya,'' ujar Sakura.

Sasuke hanya bisa tersenyum, ''Anak aneh.''

Untuk pertama kali setelah sekian lama, ia memberikan senyuman seorang 'Naruto'.

''Sangat aneh.''

.

.

.

''Hei, apa aku mengatakan sesuatu yang salah?'' bisiknya.

''Mana aku tahu.''

Tudung yang menghiasi jaketku kupakai untuk melindungi kepalaku yang kutundukkan. Cairan hangat kembali keluar dari kelopak mataku untuk kesekian kalinya di minggu ini.

Bagaimana pun, aku tahu kalau suatu saat aku harus berpisah dengannya.

''Cowo nanas, tolong sampaikan padanya... Jangan temui aku lagi...''

.

.

.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar