''Lalu setelah ini apa yang mau kau lakukan?''
Aku menghapus jejak-jejak air mata di wajahku. ''Aku sudah menyakiti Naruto dengan kata-kataku. Lebih baik aku tidak bertemu lagi dengannya.'' Aku terdiam sebentar. ''Aku akan berusaha untuk tidak menampakkan wajahku di depannya, juga padamu. Terima kasih, aku sangat senang bersama kalian akhir-akhir ini. Terima kasih juga sudah mau menemaniku hari ini.'' Aku tersenyum padanya.
''Apa kau yakin?'' Aku melihat pandangannya yang mempertanyakan keputusanku. ''Apa kau yakin lebih baik begitu?''
Aku hanya tersenyum lemah untuk menanggapinya.
Kasur yang empuk, bantal yang nyaman, selimut hangat yang kugunakan untuk menangkal hawa dingin di rumah besar ini. Pintu rumah sudah kukunci. Lampu-lampu sudah kumatikan agar tidak boros listrik. Perutku tidak lapar meskipun aku tidak makan malam. Yang kukerjakan sejak tadi hanyalah terbaring seperti orang mati di kamarku.
''Maaf telah mengecewakanmu.''
Kata-katanya terulang lagi dalam benakku. Padahal akulah yang telah mengecewakannya. Akulah yang seharusnya minta maaf. Mungkin sejak awal, seharusnya aku mengikuti kata hatiku yang bilang agar tidak berurusan dengannya. Sekarang masalahku jadi bertambah. Perasaanku makin rumit dan aku tetap tidak bersemangat.
Tubuhku sekarang hanya ingin terkulai lemas di kasur. Bergesekan dengan lembutnya seprei lalu tertidur lelap. Tidak perlu bermimpi, cukup dengan tidur yang panjang. Sangat panjang sepanjang waktu yang kubutuhkan untuk menghapus luka hatiku.
…
Berpikir sejenak, aku membuka mataku.
Benar 'kan. Sejak tadi yang kupikirkan hanya tentang diriku saja. Dasar egois. Yang kupikirkan hanya aku dan perasaanku. Dan karena sifat egoisku itulah aku sering melukai orang lain tanpa kusadari.
Kalau dipikir-pikir, aku juga hanya memikirkan diriku saat keluargaku meninggal. Aku hanya berpikir kalau Papa, Mama dan Hanabi itu jahat karena telah meninggalkanku sendirian di dunia ini. Aku hanya berpikir sekarang aku sendirian dan tidak ada siapa-siapa yang menemaniku. Lalu teman-teman yang meninggalkanku pun, itu karena aku tidak mau menghiraukan mereka dan hanya memikirkan perasaanku sendiri.
Sebenarnya...
Siapa yang bersalah atas kesedihanku...?
Aku terbangun dari posisi tidur dan duduk di kasur, membelalakkan mataku. Tawa kecil mulai terlepas dari mulutku.
''Ha, haha...'' Setelah sekian lama, aku baru menyadari kesalahanku. ''Hahahahaha...'' Tanganku melarikan jemarinya ke rambut bersamaan dengan mengalir kembalinya air mataku. ''Hahahahaha...''
Aku tertawa saat menyadari kebodohan terbesarku. Bukan salah orang lain. Kesedihanku adalah salahku. Aku sendiri yang menyebabkan diriku kesepian. Tidak ada hubungannya dengan kematian orang tua atau adikku. Seandainya aku berusaha lebih tegar, aku tidak akan seperti ini.
"Hahahahahahaha…"
Ternyata benar. Aku memang tidak pantas bahagia. Orang egois yang selalu memikirkan dirinya sendiri sepertiku tidak pantas bahagia.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Aku tahu aku anak yang egois, tapi aku ingin memperbaiki satu hal. Aku ingin memperbaiki perasaan Naruto yang telah kurusak. Kuharap ia membenciku dan melupakanku secepatnya.
.
.
.
Ternyata tidak sulit untuk menghindari Naruto. Buktinya selama beberapa hari ini aku sama sekali tidak melihat sosoknya tanpa berusaha untuk menghindar. Baguslah, dengan begini kami sama-sama menjalani kehidupan kami masing-masing, sama seperti sebelum aku menyapanya.
Angin yang berhembus melewati jendela menyapu wajahku. Perasaan kosong yang selalu kurasakan hadir kembali. Entah kenapa meski dulu aku terbiasa dengan hal ini, setelah mengenalnya, perasaan itu menjadi asing.
''Hai.'' Aku menoleh ke samping dan mendapati cowo nanas bersandar pada jendela di sebelahku. ''Lama tidak bertemu, ya.''
''Bicaramu seperti orang tua. Kita baru tidak ketemu beberapa hari, lagipula kita 'kan satu sekolah.''
Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut kuat-kuat. ''Yah, karena sudah sering bersama, rasanya jadi aneh kalau tidak melihatmu.'' Dia diam sebentar, ''Apa kau tidak merasa begitu?'' Aku hanya berdiam diri dan mengalihkan lagi pandanganku keluar. Aah, hari ini langit begitu biru.
''Kau benar-benar tidak mau bertemu dengan kami lagi?'' Aku merenungkannya sebentar. Sempat terbesit keinginan itu, tapi segera kutepis dengan cepat dengan menggelengkan kepala. ''Meski hanya untuk menjadi teman?'' Aku tahu wajahku berubah muram.
''Tidak. Terima kasih atas tawaranmu.''
Tiba-tiba kudengar suara tawa yang mengejek darinya. Ada apa dengan dia? ''Jangan menyesal sudah berpikir seperti itu.'' Cowo nanas tersenyum penuh percaya diri. ''Kau pikir dia itu siapa?''
''Apa maksudmu?''
''Dia itu...''
''HINATA!'' terdengar suara teriakan. Aku berbalik dan menemukannya di bawah.
''...cowo yang sudah ditolak beribu kali oleh orang yang sama selama bertahun-tahun.''
''Hinata! Keluar atau kupaksa kau keluar sekarang!'' Teriakannya jadi semakin nyaring karena memakai pengeras suara.
Aku mengernyitkan alis saat melihat sosoknya di lapangan sekolah. Dia itu kenapa sih? Apapun yang mau dikatakan, aku tidak akan keluar. Memangnya apa yang mau dia lakukan?
''Akan kulaporkan pada Pak Ebisu kalau kamu diam-diam sering pergi ke atap! Kamu pasti akan dihukum berat!'' Keseimbanganku hilang. Apaan tuh? Dia juga sering kesana setelah kuajak kok.
''Kalau tidak mau turun juga, akan kubocorkan biodatamu ke semua yang ada disini!'' Dalam hati aku menantangnya. Aku tidak yakin dia mengetahui biodataku secara pasti. Paling-paling hanya sekedar tempat dan tanggal lahir atau nomor telepon. Itu 'kan bisa didapat dari biodata murid di ruang kepala sekolah.
''Hyuuga Hinata...'' Ia mengeluarkan secarik kertas. ''... pernah potong rambut cepak karena lengket oleh permen karet, akhirnya dia disangka cowo oleh orang-orang yang baru mengenalnya.'' Wajahku memerah karena suara tawa orang-orang di lapangan dan rasanya seisi sekolah. Darimana dia tahu hal itu?
''Hinata pernah tenggelam di kolam renang dan sampai sekarang nggak bisa berenang dan nggak pernah ke kolam renang lagi,'' sambungnya.
''Hinata pernah mencoba memanjat pohon tapi saat mau turun dia ketakutan, akhirnya dia harus dibantu pemadam kebakaran terdekat. Hinata pernah jatuh kepleset kulit pisang lalu saat bangun, dia kepleset lagi oleh kulit pisang yang sama. Sampai kelas 2 SMP, dia masih percaya kalau hantu itu ada.''
Semua murid di sekolah ini tertawa. Si kurang ajar itu masih terus membeberkan aib-ku. Jadi ini wujud asli si playboy zombie yang katanya cool, keren dan tenang itu?
''Kalau kau tidak menemuinya, dia bisa melanjutkan ini sampai sore, loh.'' Aku melihat cowo nanas tersenyum. Senyum yang menyebalkan. Senyum yang merasa temannya sudah menang.
''Uzumaki! Apa-apan kau!'' Pak Ebisu, wakil kepala sekolah sekaligus guru kedisiplinan datang. ''Hentikan perbuatanmu, memalukan sekali. Semuanya bubar!''
Tidak memedulikan peringatan Pak Ebisu, ia tetap melanjutkan. ''Hinata hampir tidak pernah menolak saat disuruh menggantikan tugas piket, dia pesuruh yang bagus. Hinata nggak pernah melalaikan tugas yang dikasih ke dia. Hinata selalu mengganti bunga di kelasnya setiap hari. Cewe aneh yang pernah berpacaran denganku itu Hinata! HINATAAA!''
Air mataku hampir tumpah. Aku melihatnya sudah ditangkap Pak Ebisu, tapi dia tetap berteriak. ''Hinata, kumohon keluarlah!''
Aku menutup mulutku, menahan suara tangisku, menahan keinginanku untuk beralih dari tekadku. Tapi segera teralihkan begitu dia bilang, ''Kalau kamu tidak keluar juga, akan kubeberkan tiga ukuran tubuhmu!''
Panik, aku langsung berlari ke bawah. Jangan-jangan dia juga tahu tiga ukuran tubuhku. Masa laluku saja dia tahu, apalagi yang itu. Bisa kudengar suara Pak Ebisu yang mengomelinya karena tidak ada etika atau apalah namanya.
''Hinata! Cepat keluar!''
Aku berlari semakin kencang. Anak tangga yang biasa kutelusuri satu-persatu kini kulongkap dua-dua, kemudian menjadi tiga-tiga. Yang penting, aku bisa segera sampai ke bawah.
''Hinata!'' Kini aku sudah berada di depan pintu gedung sekolah. Aku bisa melihat ia sudah ditahan Pak Ebisu dan masih berteriak sekuat tenaga meski pengeras suaranya terjatuh. ''Kalau kau masih tidak mau keluar juga, akan kuberitahu seluruh sekolah saat kita pergi dulu kamu memakai celana dalam gambar beruang!''
Dengan sigap aku menutup mulutnya yang berisik itu dengan kedua tanganku. ''Maaf, Pak. Saya pinjam dia sebentar,'' izinku pada guru berkacamata hitam tersebut. Aku membawanya pergi sampai keluar gerbang, jauh dari sekolah. Wajahku panas. Sekarang pasti seluruh sekolah mengira aku masih memakai celana dalam gambar beruang dan menertawakanku.
Setelah kurasa cukup jauh dari sekolah dan tidak ada yang mengikuti kami, aku melepaskan tangannya perlahan. ''Akhirnya kau keluar juga.'' Aku menatap matanya yang agak sendu. Suaranya agak kering karena sejak tadi berteriak.
''Kau ini,'' dan aku baru saja ingin memulai ceramah panjangku. ''Apa yang kau lakukan? Kau sadar apa yang kau teriakkan tadi? Darimana kau dapat semua itu? Kenapa sampai berteriak di lapangan segala?'' Andai ada satu orang saja disana, aku tidak akan berani berteriak-teriak seperti itu. Naruto bahkan sampai menutup telinganya. ''Dan satu lagi, AKU NGGAK PAKE CELANA DALAM BERUANG SAAT PERGI DENGANMU, TAHU!''
''Jadi apa?''
''Kelinci.''
Aku baru menyadari kesalahanku saat melihatnya menyengir. Sial, aku kena jebakannya.
Baru sebentar aku berkonsentrasi dalam pikiranku, tiba-tiba lengannya sudah melingkari tubuhku. Tubuh kami saling bersentuhan. ''Aku ingin bertemu,'' katanya lembut, ''Sangat ingin bertemu... denganmu...''
Kenapa? Kenapa ia mengucapkan hal seperti itu?
Aku mendorongnya sekuat tenaga, tapi tidak bisa menjauhkannya dariku. Tangan kanannya ada di kepalaku dan tangan kirinya semakin menarikku dekat dengannya. ''Kenapa kau begitu keras kepala?'' Aku bisa mendengar kepedihan di suaranya.
Lagi-lagi air mataku mengalir. Tanpa aba-aba, tanganku mulai mengepal dan memukul-mukul tubuhnya, meminta kebebasan. ''Nggak, aku nggak mau. Lepas...'' Meski badannya berguncang, ia tidak melepaskanku. ''Lepas. Aku nggak mau sama kamu. Lepas.'' Kata-kataku hanya terdengar seperti permintaan anak kecil yang sedang ngambek pada orang tuanya. Meminta sesuatu tanpa arti dengan berurai air mata.
''Aku juga nggak mau.'' Dari suaranya, aku menebak bahwa ia juga menangis. ''Kenapa kamu menjauhi aku? Kenapa kamu berusaha menipuku? Kenapa kamu nggak ngebiarinin aku bahagia sedikit aja?'' Ia melepaskan pelukannya tapi menaruh tangannya di kedua pundakku. ''Hinata, jawab aku.''
Tanganku sibuk menghapus air mata yang mengalir. Sekarang aku pasti jelek sekali. Tapi dia melihat ke arahku. ''Aku nggak bisa. Aku 'kan sudah bilang kalau aku hanya memanfaatkanmu. Kenapa masih mencariku? Aku nggak punya urusan apa-apa lagi denganmu.''
Naruto menaruh kepalanya di pundak kiriku. ''Jangan mengatakan hal seperti itu lagi. Kau masih berhubungan denganku. Kita masih pacaran. Pemutusan yang kau lakukan hari itu hanya keputusan sepihak.'' Jadi dia menganggapnya begitu? ''Hei Hinata, kau tahu seperti apa wajahmu saat kau bilang kau hanya memanfaatkanku saat itu?''
Aku terdiam. Seperti apa wajahku? ''Wajahmu seperti ingin menangis dan seolah-olah mengatakan 'Tolong tinggalkan aku'.'' Mataku melebar. Padahal kupikir saat itu aku telah memasang wajah yang tegar dan meyakinkan. Ternyata aku tidak punya bakat akting.
''Hinata, kumohon, hentikan semua kejar-kejaran ini. Aku sudah cape. Kumohon...''
Aku menggelengkan kepala, air mata tetap keluar. ''Tidak bisa. Aku tidak bisa.'' Naruto menatapku heran. ''Aku tidak bisa bersamamu. Aku tidak pantas. Yang kulakukan selama ini hanya membiarkanmu tenggelam dalam kegelapan, menjadikanmu sama denganku. Aku telah berbuat jahat padamu. Aku tidak mau melukaimu, aku tidak mau kau menderita lagi. Aku tidak bisa memberimu cahaya.''
''Apa maksudmu? Aku manusia, kau manusia. Kita ini sama, spesies kita sama. Apa yang membedakan kita?'' Tangisanku berhenti sejenak. Hah? ''Aku juga tidak mengerti tentang kegelapan atau cahaya. Kalau hanya cahaya, di siang hari ada matahari, saat malam ada bulan atau bintang. Atau, kalau kau butuh lampu, aku bisa memberikannya padamu.''
Dia ini... ''Naruto bego.''
''Apaan sih?''
Ia memelukku lagi, kemudian mengecup jalur air mataku dan mengistirahatkan kepalanya di pundakku. ''Jangan berpikir sesuatu yang sulit. Kita tidak hidup di dunia fantasi dimana cahaya selalu bertarung dengan kegelapan. Kita ini cuma anak SMA biasa.''
Bisa kurasakan sesuatu mengalir dalam diriku. Kata-katanya yang sederhana, kehangatan tubuhnya, pemikirannya… membuatku ingin kembali menangis… Kali ini aku membalas pelukannya dengan sedikit tersenyum. Ada hal aneh dalam dirinya yang membuatku berbuat demikian. ''Naruto payah, nggak punya impian.''
''Berisik,'' katanya. ''Udahan dong nangisnya.''
''Kamu sendiri juga nangis.'' Aku menghapus sedikit air matanya dengan ibu jariku.
''Aku terharu, tahu.''
Kami berpelukan sambil tertawa dan menangis. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Rasanya semua masalah yang kupikirkan menghilang begitu saja hanya dengan pemikirannya yang simpel dan naif. Aku jadi merasa bodoh bila mengingat hari-hariku kemarin. Segala sesuatu yang kurasakan sampai tadi entah kenapa menjadi ringan.
Naruto yang sekarang agak berbeda dengan Naruto yang kuperhatikan selama ini. Ia tidak kosong seperti yang dulu. Sedikit demi sedikit, meski aku tidak terlalu yakin, sepertinya sifat aslinya akan keluar. Tapi baik Naruto yang dulu maupun sekarang atau yang akan datang nanti, memiliki sesuatu yang selalu memikatku entah dari kejauhan atau dari dekat.
Kalau diperbolehkan…
''Hei, kita jadi terlihat seperti orang bodoh menangis seperti ini.''
Kalau diperbolehkan… aku ingin selalu berada sedekat ini dengannya…
Memperhatikan dan memahaminya…
''Setidaknya kita terlihat bodoh bersama.''
Setelah ini kami pasti bisa membuka pintu atap saat istirahat dan makan bekal disana bertiga, bersama cowo nanas. Setelah itu kami akan berbaring di lantai yang keras dan tidur sambil memandangi awan-awan yang ada di atas langit dan menikmati hembusan angin yang melewati hati kami.
.
.
.
-To Know You-
The End
Aku menghapus jejak-jejak air mata di wajahku. ''Aku sudah menyakiti Naruto dengan kata-kataku. Lebih baik aku tidak bertemu lagi dengannya.'' Aku terdiam sebentar. ''Aku akan berusaha untuk tidak menampakkan wajahku di depannya, juga padamu. Terima kasih, aku sangat senang bersama kalian akhir-akhir ini. Terima kasih juga sudah mau menemaniku hari ini.'' Aku tersenyum padanya.
''Apa kau yakin?'' Aku melihat pandangannya yang mempertanyakan keputusanku. ''Apa kau yakin lebih baik begitu?''
Aku hanya tersenyum lemah untuk menanggapinya.
Kasur yang empuk, bantal yang nyaman, selimut hangat yang kugunakan untuk menangkal hawa dingin di rumah besar ini. Pintu rumah sudah kukunci. Lampu-lampu sudah kumatikan agar tidak boros listrik. Perutku tidak lapar meskipun aku tidak makan malam. Yang kukerjakan sejak tadi hanyalah terbaring seperti orang mati di kamarku.
''Maaf telah mengecewakanmu.''
Kata-katanya terulang lagi dalam benakku. Padahal akulah yang telah mengecewakannya. Akulah yang seharusnya minta maaf. Mungkin sejak awal, seharusnya aku mengikuti kata hatiku yang bilang agar tidak berurusan dengannya. Sekarang masalahku jadi bertambah. Perasaanku makin rumit dan aku tetap tidak bersemangat.
Tubuhku sekarang hanya ingin terkulai lemas di kasur. Bergesekan dengan lembutnya seprei lalu tertidur lelap. Tidak perlu bermimpi, cukup dengan tidur yang panjang. Sangat panjang sepanjang waktu yang kubutuhkan untuk menghapus luka hatiku.
…
Berpikir sejenak, aku membuka mataku.
Benar 'kan. Sejak tadi yang kupikirkan hanya tentang diriku saja. Dasar egois. Yang kupikirkan hanya aku dan perasaanku. Dan karena sifat egoisku itulah aku sering melukai orang lain tanpa kusadari.
Kalau dipikir-pikir, aku juga hanya memikirkan diriku saat keluargaku meninggal. Aku hanya berpikir kalau Papa, Mama dan Hanabi itu jahat karena telah meninggalkanku sendirian di dunia ini. Aku hanya berpikir sekarang aku sendirian dan tidak ada siapa-siapa yang menemaniku. Lalu teman-teman yang meninggalkanku pun, itu karena aku tidak mau menghiraukan mereka dan hanya memikirkan perasaanku sendiri.
Sebenarnya...
Siapa yang bersalah atas kesedihanku...?
Aku terbangun dari posisi tidur dan duduk di kasur, membelalakkan mataku. Tawa kecil mulai terlepas dari mulutku.
''Ha, haha...'' Setelah sekian lama, aku baru menyadari kesalahanku. ''Hahahahaha...'' Tanganku melarikan jemarinya ke rambut bersamaan dengan mengalir kembalinya air mataku. ''Hahahahaha...''
Aku tertawa saat menyadari kebodohan terbesarku. Bukan salah orang lain. Kesedihanku adalah salahku. Aku sendiri yang menyebabkan diriku kesepian. Tidak ada hubungannya dengan kematian orang tua atau adikku. Seandainya aku berusaha lebih tegar, aku tidak akan seperti ini.
"Hahahahahahaha…"
Ternyata benar. Aku memang tidak pantas bahagia. Orang egois yang selalu memikirkan dirinya sendiri sepertiku tidak pantas bahagia.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Aku tahu aku anak yang egois, tapi aku ingin memperbaiki satu hal. Aku ingin memperbaiki perasaan Naruto yang telah kurusak. Kuharap ia membenciku dan melupakanku secepatnya.
.
.
.
Ternyata tidak sulit untuk menghindari Naruto. Buktinya selama beberapa hari ini aku sama sekali tidak melihat sosoknya tanpa berusaha untuk menghindar. Baguslah, dengan begini kami sama-sama menjalani kehidupan kami masing-masing, sama seperti sebelum aku menyapanya.
Angin yang berhembus melewati jendela menyapu wajahku. Perasaan kosong yang selalu kurasakan hadir kembali. Entah kenapa meski dulu aku terbiasa dengan hal ini, setelah mengenalnya, perasaan itu menjadi asing.
''Hai.'' Aku menoleh ke samping dan mendapati cowo nanas bersandar pada jendela di sebelahku. ''Lama tidak bertemu, ya.''
''Bicaramu seperti orang tua. Kita baru tidak ketemu beberapa hari, lagipula kita 'kan satu sekolah.''
Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut kuat-kuat. ''Yah, karena sudah sering bersama, rasanya jadi aneh kalau tidak melihatmu.'' Dia diam sebentar, ''Apa kau tidak merasa begitu?'' Aku hanya berdiam diri dan mengalihkan lagi pandanganku keluar. Aah, hari ini langit begitu biru.
''Kau benar-benar tidak mau bertemu dengan kami lagi?'' Aku merenungkannya sebentar. Sempat terbesit keinginan itu, tapi segera kutepis dengan cepat dengan menggelengkan kepala. ''Meski hanya untuk menjadi teman?'' Aku tahu wajahku berubah muram.
''Tidak. Terima kasih atas tawaranmu.''
Tiba-tiba kudengar suara tawa yang mengejek darinya. Ada apa dengan dia? ''Jangan menyesal sudah berpikir seperti itu.'' Cowo nanas tersenyum penuh percaya diri. ''Kau pikir dia itu siapa?''
''Apa maksudmu?''
''Dia itu...''
''HINATA!'' terdengar suara teriakan. Aku berbalik dan menemukannya di bawah.
''...cowo yang sudah ditolak beribu kali oleh orang yang sama selama bertahun-tahun.''
''Hinata! Keluar atau kupaksa kau keluar sekarang!'' Teriakannya jadi semakin nyaring karena memakai pengeras suara.
Aku mengernyitkan alis saat melihat sosoknya di lapangan sekolah. Dia itu kenapa sih? Apapun yang mau dikatakan, aku tidak akan keluar. Memangnya apa yang mau dia lakukan?
''Akan kulaporkan pada Pak Ebisu kalau kamu diam-diam sering pergi ke atap! Kamu pasti akan dihukum berat!'' Keseimbanganku hilang. Apaan tuh? Dia juga sering kesana setelah kuajak kok.
''Kalau tidak mau turun juga, akan kubocorkan biodatamu ke semua yang ada disini!'' Dalam hati aku menantangnya. Aku tidak yakin dia mengetahui biodataku secara pasti. Paling-paling hanya sekedar tempat dan tanggal lahir atau nomor telepon. Itu 'kan bisa didapat dari biodata murid di ruang kepala sekolah.
''Hyuuga Hinata...'' Ia mengeluarkan secarik kertas. ''... pernah potong rambut cepak karena lengket oleh permen karet, akhirnya dia disangka cowo oleh orang-orang yang baru mengenalnya.'' Wajahku memerah karena suara tawa orang-orang di lapangan dan rasanya seisi sekolah. Darimana dia tahu hal itu?
''Hinata pernah tenggelam di kolam renang dan sampai sekarang nggak bisa berenang dan nggak pernah ke kolam renang lagi,'' sambungnya.
''Hinata pernah mencoba memanjat pohon tapi saat mau turun dia ketakutan, akhirnya dia harus dibantu pemadam kebakaran terdekat. Hinata pernah jatuh kepleset kulit pisang lalu saat bangun, dia kepleset lagi oleh kulit pisang yang sama. Sampai kelas 2 SMP, dia masih percaya kalau hantu itu ada.''
Semua murid di sekolah ini tertawa. Si kurang ajar itu masih terus membeberkan aib-ku. Jadi ini wujud asli si playboy zombie yang katanya cool, keren dan tenang itu?
''Kalau kau tidak menemuinya, dia bisa melanjutkan ini sampai sore, loh.'' Aku melihat cowo nanas tersenyum. Senyum yang menyebalkan. Senyum yang merasa temannya sudah menang.
''Uzumaki! Apa-apan kau!'' Pak Ebisu, wakil kepala sekolah sekaligus guru kedisiplinan datang. ''Hentikan perbuatanmu, memalukan sekali. Semuanya bubar!''
Tidak memedulikan peringatan Pak Ebisu, ia tetap melanjutkan. ''Hinata hampir tidak pernah menolak saat disuruh menggantikan tugas piket, dia pesuruh yang bagus. Hinata nggak pernah melalaikan tugas yang dikasih ke dia. Hinata selalu mengganti bunga di kelasnya setiap hari. Cewe aneh yang pernah berpacaran denganku itu Hinata! HINATAAA!''
Air mataku hampir tumpah. Aku melihatnya sudah ditangkap Pak Ebisu, tapi dia tetap berteriak. ''Hinata, kumohon keluarlah!''
Aku menutup mulutku, menahan suara tangisku, menahan keinginanku untuk beralih dari tekadku. Tapi segera teralihkan begitu dia bilang, ''Kalau kamu tidak keluar juga, akan kubeberkan tiga ukuran tubuhmu!''
Panik, aku langsung berlari ke bawah. Jangan-jangan dia juga tahu tiga ukuran tubuhku. Masa laluku saja dia tahu, apalagi yang itu. Bisa kudengar suara Pak Ebisu yang mengomelinya karena tidak ada etika atau apalah namanya.
''Hinata! Cepat keluar!''
Aku berlari semakin kencang. Anak tangga yang biasa kutelusuri satu-persatu kini kulongkap dua-dua, kemudian menjadi tiga-tiga. Yang penting, aku bisa segera sampai ke bawah.
''Hinata!'' Kini aku sudah berada di depan pintu gedung sekolah. Aku bisa melihat ia sudah ditahan Pak Ebisu dan masih berteriak sekuat tenaga meski pengeras suaranya terjatuh. ''Kalau kau masih tidak mau keluar juga, akan kuberitahu seluruh sekolah saat kita pergi dulu kamu memakai celana dalam gambar beruang!''
Dengan sigap aku menutup mulutnya yang berisik itu dengan kedua tanganku. ''Maaf, Pak. Saya pinjam dia sebentar,'' izinku pada guru berkacamata hitam tersebut. Aku membawanya pergi sampai keluar gerbang, jauh dari sekolah. Wajahku panas. Sekarang pasti seluruh sekolah mengira aku masih memakai celana dalam gambar beruang dan menertawakanku.
Setelah kurasa cukup jauh dari sekolah dan tidak ada yang mengikuti kami, aku melepaskan tangannya perlahan. ''Akhirnya kau keluar juga.'' Aku menatap matanya yang agak sendu. Suaranya agak kering karena sejak tadi berteriak.
''Kau ini,'' dan aku baru saja ingin memulai ceramah panjangku. ''Apa yang kau lakukan? Kau sadar apa yang kau teriakkan tadi? Darimana kau dapat semua itu? Kenapa sampai berteriak di lapangan segala?'' Andai ada satu orang saja disana, aku tidak akan berani berteriak-teriak seperti itu. Naruto bahkan sampai menutup telinganya. ''Dan satu lagi, AKU NGGAK PAKE CELANA DALAM BERUANG SAAT PERGI DENGANMU, TAHU!''
''Jadi apa?''
''Kelinci.''
Aku baru menyadari kesalahanku saat melihatnya menyengir. Sial, aku kena jebakannya.
Baru sebentar aku berkonsentrasi dalam pikiranku, tiba-tiba lengannya sudah melingkari tubuhku. Tubuh kami saling bersentuhan. ''Aku ingin bertemu,'' katanya lembut, ''Sangat ingin bertemu... denganmu...''
Kenapa? Kenapa ia mengucapkan hal seperti itu?
Aku mendorongnya sekuat tenaga, tapi tidak bisa menjauhkannya dariku. Tangan kanannya ada di kepalaku dan tangan kirinya semakin menarikku dekat dengannya. ''Kenapa kau begitu keras kepala?'' Aku bisa mendengar kepedihan di suaranya.
Lagi-lagi air mataku mengalir. Tanpa aba-aba, tanganku mulai mengepal dan memukul-mukul tubuhnya, meminta kebebasan. ''Nggak, aku nggak mau. Lepas...'' Meski badannya berguncang, ia tidak melepaskanku. ''Lepas. Aku nggak mau sama kamu. Lepas.'' Kata-kataku hanya terdengar seperti permintaan anak kecil yang sedang ngambek pada orang tuanya. Meminta sesuatu tanpa arti dengan berurai air mata.
''Aku juga nggak mau.'' Dari suaranya, aku menebak bahwa ia juga menangis. ''Kenapa kamu menjauhi aku? Kenapa kamu berusaha menipuku? Kenapa kamu nggak ngebiarinin aku bahagia sedikit aja?'' Ia melepaskan pelukannya tapi menaruh tangannya di kedua pundakku. ''Hinata, jawab aku.''
Tanganku sibuk menghapus air mata yang mengalir. Sekarang aku pasti jelek sekali. Tapi dia melihat ke arahku. ''Aku nggak bisa. Aku 'kan sudah bilang kalau aku hanya memanfaatkanmu. Kenapa masih mencariku? Aku nggak punya urusan apa-apa lagi denganmu.''
Naruto menaruh kepalanya di pundak kiriku. ''Jangan mengatakan hal seperti itu lagi. Kau masih berhubungan denganku. Kita masih pacaran. Pemutusan yang kau lakukan hari itu hanya keputusan sepihak.'' Jadi dia menganggapnya begitu? ''Hei Hinata, kau tahu seperti apa wajahmu saat kau bilang kau hanya memanfaatkanku saat itu?''
Aku terdiam. Seperti apa wajahku? ''Wajahmu seperti ingin menangis dan seolah-olah mengatakan 'Tolong tinggalkan aku'.'' Mataku melebar. Padahal kupikir saat itu aku telah memasang wajah yang tegar dan meyakinkan. Ternyata aku tidak punya bakat akting.
''Hinata, kumohon, hentikan semua kejar-kejaran ini. Aku sudah cape. Kumohon...''
Aku menggelengkan kepala, air mata tetap keluar. ''Tidak bisa. Aku tidak bisa.'' Naruto menatapku heran. ''Aku tidak bisa bersamamu. Aku tidak pantas. Yang kulakukan selama ini hanya membiarkanmu tenggelam dalam kegelapan, menjadikanmu sama denganku. Aku telah berbuat jahat padamu. Aku tidak mau melukaimu, aku tidak mau kau menderita lagi. Aku tidak bisa memberimu cahaya.''
''Apa maksudmu? Aku manusia, kau manusia. Kita ini sama, spesies kita sama. Apa yang membedakan kita?'' Tangisanku berhenti sejenak. Hah? ''Aku juga tidak mengerti tentang kegelapan atau cahaya. Kalau hanya cahaya, di siang hari ada matahari, saat malam ada bulan atau bintang. Atau, kalau kau butuh lampu, aku bisa memberikannya padamu.''
Dia ini... ''Naruto bego.''
''Apaan sih?''
Ia memelukku lagi, kemudian mengecup jalur air mataku dan mengistirahatkan kepalanya di pundakku. ''Jangan berpikir sesuatu yang sulit. Kita tidak hidup di dunia fantasi dimana cahaya selalu bertarung dengan kegelapan. Kita ini cuma anak SMA biasa.''
Bisa kurasakan sesuatu mengalir dalam diriku. Kata-katanya yang sederhana, kehangatan tubuhnya, pemikirannya… membuatku ingin kembali menangis… Kali ini aku membalas pelukannya dengan sedikit tersenyum. Ada hal aneh dalam dirinya yang membuatku berbuat demikian. ''Naruto payah, nggak punya impian.''
''Berisik,'' katanya. ''Udahan dong nangisnya.''
''Kamu sendiri juga nangis.'' Aku menghapus sedikit air matanya dengan ibu jariku.
''Aku terharu, tahu.''
Kami berpelukan sambil tertawa dan menangis. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Rasanya semua masalah yang kupikirkan menghilang begitu saja hanya dengan pemikirannya yang simpel dan naif. Aku jadi merasa bodoh bila mengingat hari-hariku kemarin. Segala sesuatu yang kurasakan sampai tadi entah kenapa menjadi ringan.
Naruto yang sekarang agak berbeda dengan Naruto yang kuperhatikan selama ini. Ia tidak kosong seperti yang dulu. Sedikit demi sedikit, meski aku tidak terlalu yakin, sepertinya sifat aslinya akan keluar. Tapi baik Naruto yang dulu maupun sekarang atau yang akan datang nanti, memiliki sesuatu yang selalu memikatku entah dari kejauhan atau dari dekat.
Kalau diperbolehkan…
''Hei, kita jadi terlihat seperti orang bodoh menangis seperti ini.''
Kalau diperbolehkan… aku ingin selalu berada sedekat ini dengannya…
Memperhatikan dan memahaminya…
''Setidaknya kita terlihat bodoh bersama.''
Setelah ini kami pasti bisa membuka pintu atap saat istirahat dan makan bekal disana bertiga, bersama cowo nanas. Setelah itu kami akan berbaring di lantai yang keras dan tidur sambil memandangi awan-awan yang ada di atas langit dan menikmati hembusan angin yang melewati hati kami.
.
.
.
-To Know You-
The End
10 jempol deh.. bgus bgt critanya, lanjutin donk critanya,...
BalasHapus