Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 November 2013

To Know You part 4


''Sakura... Pergi denganku yuk!''

''Naruto, 'kan tadi sudah kubilang hari ini ada rapat panitia antar kelas.''

''Buu... Paling-paling kau pergi hanya untuk melihat Sasuke lagi 'kan.''

Wajah gadis itu memerah, ''Sudah ah, Naruto. Lebih baik kau cepat pulang. Semua murid sudah pulang dari tadi, tahu. Aku pergi rapat dulu.''

Pemuda itu hanya melihat ke arah gadis itu pergi, ''Lihat saja. Suatu saat nanti aku pasti akan mendapatkan hatimu.''

.

.

.

''Kenapa Sasuke? Kenapa?''

Pemuda rambut biru tua itu hanya menghela napas panjang seperti biasa, ''Sakura, sudah kubilang ini sama sekali bukan urusanmu.''

''Tapi, kenapa kau tidak memberitahuku kalau 2 minggu lagi kau mau ke luar negeri?''

''Sudah kukatakan, ini bukan urusanmu, Sakura.''

''Tapi Sasuke...'' Gadis itu mengaitkan lengannya pada pemuda itu, ''Kenapa kau pergi meninggalkanku begitu saja? Kita ini teman sejak kecil 'kan?''

Gadis berambut pink itu benar-benar berharap teman bermainnya sejak kecil yang sekaligus cinta pertamanya itu tidak akan pergi untuk sekolah ke luar negeri dan menghabiskan sisa hidupnya di sana, tanpa bertemu lagi dengannya dan juga teman-teman yang lain.

''Sasuke...''

''Cukup, Sakura!'' Hentakan suara yang keras dari pemuda itu membuatnya terdiam.

''Meskipun aku mengenalmu sejak kecil, aku tidak pernah menganggapmu teman. Dan kalaupun iya, aku tidak perlu melaporkan semua keputusanku padamu 'kan? Berhentilah untuk selalu mencampuri urusanku!''

Kejam. Ini terlalu kejam. Dia tidak pernah menganggapnya teman.

''Lalu... Lalu aku ini apa...? SELAMA INI BAGIMU AKU INI APA?''

Hanya satu jawaban yang dikeluarkan untuk pertanyaan itu, ''Tidak tahu.''

Geram, marah, sakit, tapi di atas semua itu... Kecewa.

''Baiklah, Sasuke. Aku ini bukan apa-apa bagimu dan kau pun bukan apa-apa bagiku. Kau akan kubuat menyesal pernah berkata seperti itu padaku.'' Saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membalas dendamnya pada cinta pertamanya.

.

.

.

''Kau mau jadian denganku?'' Gadis itu hanya mengangguk.

''Ini bukan mimpi 'kan?'' Ia mengangguk lagi.

''HOREEEE!''

''Sst... Pelankan suaramu, Naruto...'' Daripada mengecilkan suaranya, ia mengangkat tubuh gadis itu tinggi-tinggi.

''Hahaha... Aku senang sekali, Sakura. Aku tahu akhirnya kau pasti menyukaiku.'' Dia tersenyum senang.

''Aku mau pergi memberitahu Iruka-sensei, Shikamaru, Chouji, Kiba, lalu... lalu...'' Ia menghitung daftar orang-orang yang ingin diberitahunya. Sang gadis hanya tersenyum kecil, ''Oh, iya. Si Sasuke juga harus tahu!'' Dan saat mendengar nama itu, senyumnya menghilang.

''Aku pergi memberitahukan semuanya dulu ya, Sakura. Bye bye. Aku jemput saat pulang sekolah nanti.''

Sang gadis hanya berdiam di tempatnya.

'Benar. Beritahukan... Beritahukan pada semuanya, Naruto... Beritahukan pada semuanya kalau kita pacaran. Terutama padanya...'

.

.

.

Begitulah, rumor beredar cepat. Ditambah lagi dengan kemesraan mereka berdua di depan umum dan celoteh berkepanjangan dari pemuda pirang tersebut, membuat hal ini diketahui sampai ke seluruh sekolah.

Bergandengan tangan, makan bekal bersama, pulang bersama, ciuman pertama setelah 3 hari jadian...

''Kenapa senyum-senyum terus?''

''Tidak kok.''

Hal itu membuatnya tambah curiga akan apa yang dipikirkan si pemuda pirang, ''Ada apa? Kasih tahu dong...''

Dia hanya tersenyum senang, ''Benar tidak apa-apa. Aku hanya senang karena akhirnya kau menyukaiku dan melakukan hal ini bersamaku.''

''Hah?'' Kebingungan tersirat di wajahnya.

''Yah, hal ini. Pulang bersama, bergandengan tangan... Kau, di sebelahku,'' ia menyengir, ''Dulu kau selalu berbicara Sasuke, Sasuke, dan Sasuke terus. Karena itu, saat kau bilang kau menyukaiku, aku pikir aku bermimpi. Sebenarnya aku hampir menyerah untuk menyukaimu.''

Melihat senyum polos yang ada di wajah pemuda itu, sempat terpikir untuk menghentikan semua rencana ini. Tapi saat dendam lebih besar dari perasaan bersalah, tidak ada yang bisa melawannya.

Akhirnya, tidak ada lagi yang menyinggung tentang hal itu sampai mereka pulang ke rumah masing-masing.

.

.

.

''Apa maksud semua ini, Sakura?'' Suara itu terdengar sampai memekakkan telinga.

''Seharusnya aku yang bertanya begitu. Apa maksudmu memanggilku ke tempat seperti ini?'' Sekarang mereka berdua tengah berada di belakang sekolah, tempat yang sangat jarang didatangi orang.

''Nggak usah pura-pura! Kau tahu apa yang kumaksud.''

''Hah? Nggak ngerti tuh.''

''Kenapa setelah pembicaraan kita tiba-tiba kau berpacaran dengan Naruto?''

''Oh, itu...'' Mata gadis itu tidak menatapnya, membuatnya bertambah gusar, ''Dengan siapapun aku pacaran, tidak ada hubungannya denganmu 'kan?'' Ia mengembalikan kata-kata yang pernah dilempar padanya.

''Apa kau pernah berpikir apa yang dirasakan Naruto kalau tahu bahwa kau tidak pernah benar-benar mencintainya?''

Tapi gadis itu malah meremehkan perkataannya, ''Hah? Memangnya kau peduli pada Naruto? Kupikir kau orang yang tidak punya perasaan.''

''JANGAN MAIN-MAIN, SAKURA!''

''APA? KAU PIKIR AKU MAIN-MAIN? Sekian lama aku mencintaimu dan selalu bersamamu, tapi ternyata kau bahkan tidak menganggapku temanmu! Kau tahu betapa sakit hatiku saat mendengar kenyataan itu?''

Pemuda itu terdiam.

''Aku hanya ingin bersamamu, selalu di sampingmu. Hanya itu. Tapi kau sama sekali tidak mempedulikanku. Kau tahu? Aku bisa mengorbankan satu dunia ini hanya untukmu. Hanya untuk mendapatkanmu. Biarpun aku harus mempergunakan Naruto.''

Pemuda itu meringis melihat wanita yang berdiri di depannya, ''Kau gila, Sakura.''

''BENAR! AKU GILA. AKU GILA KARENA MENCINTAIMU!''

Dan saat itu, ia menempelkan bibirnya dengan pemuda itu, namun segera dihempas oleh sang pemuda. ''Lepas!''

Saat kedua bibir yang bertautan itu lepas, mereka baru menyadari akan kehadiran orang ketiga yang ada di sana. Kedua pasang bola mata itu terbelalak.

''Na-Naruto...''

''NARUTO!''

Di sana, berdiri sosok yang mereka kenal sejak kecil, namun ekspresi wajah itu tak pernah mereka lihat sebelumnya. Sebuah mimik yang tak pernah diperlihatkan oleh pemilik bola mata berwarna biru yang kini berdiri di depan mereka.

Sosok itu pun berlari ketika tak tahan lagi untuk membendung perasaannya.

''Naruto!'' Gadis itu pergi mengejarnya.

Sebuah keinginan untuk mengejar temannya timbul dalam diri pemuda itu. Namun, ia sadar. Apapun yang dikatakannya pada saat ini, tidak akan merubah apapun yang telah terjadi. Pada akhirnya, semua ini adalah kesalahan yang tak bisa tertebus olehnya.

.

.

.

''Naruto! Naruto! Kumohon, tunggu dulu.'' Pemuda pirang itu menghentikan langkahnya, namun tak berbalik untuk menghadap perempuan yang sedang mencoba bernapas lancar di belakangnya.

''Kenapa...'' Hanya itu yang bisa diucapkan.

''Dengar Naruto, aku dan Sasuke...''

''Kenapa aku?'' Bukan 'Kenapa memperalatku?' yang ditanyakan, melainkan 'kenapa' gadis itu memilihnya. Mengetahui perbedaannya, rasa bersalah gadis itu bertambah.

''Aku—''

''KENAPA AKU?'' Suara itu menggema di lorong sekolah yang sepi. ''Kau tahu aku sangat menyukaimu 'kan? Dan kau memperalatku karena tahu hal itu?''

''Naruto...'' kata-kata seperti tertahan di tenggorokannya, namun bagaimanapun ia harus mengatakan kejujuran agar siapapun tidak menjadi lebih terluka.

''Benar. Aku memperalatmu karena ingin membalaskan dendamku pada Sasuke.'' Tidak ada respon darinya.

''Aku memilihmu karena kupikir kalau denganmu, Sasuke pasti menyadarinya dan akan menemuiku... Seperti tadi...'' Dia tetap diam tak bergerak.

''Tapi saat aku bersamamu, aku tidak bohong, Naruto. Aku benar-benar senang saat denganmu dan aku—''

''Sakura...'' Kata-katanya terhenti saat mendengar sesuatu dari mulut pemuda itu. ''Lebih baik kita tak perlu bertemu lagi...'' Dengan itu, ia berjalan semakin jauh dari sang gadis.

Dan gadis itu hanya bisa berdiam menangis di tempatnya ketika menyadari kesalahan paling besar yang pernah dia buat selama hidupnya.

Sejak saat itu, mereka tak pernah saling berbicara, maupun berhubungan lagi. Mereka menjalani hidupnya masing-masing tanpa ada campur tangan dari yang lain. Dunia mereka bertiga kini terpisah.

Sampai akhirnya mereka lulus dan melanjutkan di sekolah yang berbeda, tak pernah satu kali pun mereka bertemu pandang. Bahkan sampai kini, pemuda itu tidak mengetahui kabar tentang sang gadis maupun kehidupannya setelah hari itu.

Tidak tahu...

...dan tidak mau tahu...

.

.

.

Kurasakan terpaan angin yang melewati wajahku yang basah.

Sampai saat ini...

...angin masih berhembus.

.

.

.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar