''Hei, kenapa kau ada di sini?'' tanyaku dengan nada terganggu.
''Tidak apa-apa 'kan? Aku tidak mengganggu kok,'' ia menjawab dengan santai.
''Oh ya? Kalau begitu, siapa yang seenaknya mengambil bekal yang kubuat untuk Naruto lalu memakannya tanpa ragu?''
''Hah? Orangnya sendiri tidak keberatan kok.''
''Aku keberatan.''
Hhhh, benar-benar deh. Kenapa sekarang bertambah lagi satu orang yang merepotkan di tempat ini?
Aku mencuri pandang ke arahnya. Setelah acara jalan-jalan kami waktu itu, dia jadi lebih pendiam. Atau, lebih tepat dikatakan dia memendam sesuatu, terlihat dari auranya yang membuat orang ingin menjauh. Tatapan matanya bukan tatapan kosong, melainkan kebencian.
''Hei, dia kenapa sih?'' tanyaku pada si cowo nanas yang ada di sebelahku, tetap sambil melihat punggung yang kesepian itu.
Dia tetap mengunyah makanannya, ''Entahlah. Dia jadi begitu sejak pulang kencan denganmu. Apa yang kau lakukan padanya?''
Aku mengalihkan pandangan padanya, ''Kami tidak kencan kok. Itu hanya jalan-jalan biasa.''
''Iya, iya. Terserahlah mau kau sebut apa. Pokoknya dia jadi begitu setelah pulang.''
Aku tidak mengerti dengan ucapannya. Setelah pulang? Bukankah tidak ada yang salah dengan acara jalan-jalan itu? Apa yang kulakukan sehingga membuatnya seperti itu?
''Terima kasih''
Dua patah kata itu masih terngiang jelas di telingaku, bagaikan gema yang tak pernah berhenti mengulang kata. Setiap nada, setiap intonasinya terekam di otakku dan selalu diputar dengan pasti, bagaikan mp3 yang di replay. Terulang terus, terulang terus. Tak pernah berhenti.
Seharusnya tidak ada yang salah.
''Ah, apa mungkin...'' Aku melihatnya, ''Ah, tidak, tidak mungkin... Tapi bisa saja...'' Gerakannya seperti orang yang berpikir serius.
''Apanya yang mungkin?''
''Tidak, tidak apa-apa.''
Aku sangat, sangat ingin tahu apa yang dimaksudnya. Tapi mungkin lebih baik kalau aku tidak tahu. Dari awal aku memang tidak ingin tenggelam ke dalam dunianya. Tidak mau tenggelam lebih jauh...
Aku bangkit berdiri dan berjalan mendekatinya. Sejak tadi yang dilakukannya hanyalah menatap langit, tapi aku tahu, yang ditatapnya bukanlah langit. Ada hal lain yang lebih jauh dibanding langit yang dilihatnya.
''Hei... Kamu tidak mau makan...?'' Tidak ada jawaban darinya.
''Tidak perlu makan bekal dariku. Roti saja juga tidak apa-apa, kok...'' Dia tetap diam.
Aku memang sudah terbiasa tidak dipedulikan oleh yang lainnya... tapi dia...
''Hei...'' Aku mengulurkan tanganku untuk menyentuhnya, namun yang dilakukannya merupakan reaksi yang paling tidak kuduga dan tidak kuharapkan.
Ia menepis tanganku dengan kasar. Bahkan saat mata kami bertemu, tak satu kata pun yang terucap di sana. Selanjutnya yang bisa kudengar hanyalah suara bantingan pintu dan helaan napas panjang dari cowo nanas.
''Gawat... Ternyata memang benar...''
.
.
.
''Hari ini kamu ikut pergi nggak?''
''Wah, gimana ya...? Aku 'kan udah punya pacar. Mana mungkin aku ikut begituan lagi.''
''Yah, sayang banget. Goukon* kali ini dengan anak-anak SMA K, loh. Rugi deh kalau sampai nggak ikutan.''
''Eh, kok nggak bilang sih? Kalau begitu hari ini aku ikut deh.''
''Kita janjian setelah pulang sekolah. Ingat, ya. Jangan sampai lupa!''
''Iya iya, aku tahu.''
Berisik sekali
Suasana kelas memang berisik. Aku tidak tahan mendengarnya. Tapi saat ini aku tidak bisa pergi ke atap, karena, kalau ke atap aku takut untuk bertemu dengannya. Kalau aku bertemu dengannya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan...
Sudah beberapa hari sejak saat itu, dan aku tidak pernah menemuinya lagi. Mungkin lebih tepat kalau kubilang aku menghindarinya. Tapi pada dasarnya, kami memang tidak akan bertemu kalau bukan aku yang menemuinya. Kelas kami terpisah dan kami memang tidak saling kenal.
Hhhh... Mungkin ini semua adalah hukuman untukku yang tidak tulus mendekatinya...
Kakiku melangkah ke arah atap. Pada akhirnya aku sendiri tidak bisa berada di ruangan itu lebih lama lagi.
Di saat pintu itu terbuka, aku tahu apa yang menungguku disana. Tempat ini sudah bukan tempat milikku pribadi lagi. Tapi, tempat ini juga bukan miliknya.
Aku mengambil langkah demi langkah sampai akhirnya tepat berada di sampingnya, lalu duduk menemaninya.
Hanya butuh beberapa saat sampai mulutku memutuskan untuk terbuka, ''Kenapa...''
Aku terdiam sesaat, bingung apa yang harus kukatakan selanjutnya, ''Kenapa kau kembali seperti dulu?'' Aku tidak bisa melihat ke arahnya. Mengingat aku bukan siapa-siapa baginya, bukan hakku untuk mengatakan hal semacam itu.
''Jangan bercanda,'' aku tak pernah mengharapkan sebuah respon darinya.
''Tahu apa kau tentang aku yang dulu.''
Kata-kata yang diucapkannya tanpa emosi di nada suaranya berlalu dihembus angin, namun tak bisa terlewatkan oleh indra pendengarku.
''Tahu apa kau...''
Aku mengerti.
Aku mengerti bahwa aku tidak pantas untuk membicarakan hal ini.
Aku mengerti bahwa bukan peranku untuk mengatakan hal seperti ini.
Aku tidak tahu dan tidak pernah mau tahu tentangmu, masalahmu, maupun kamu yang dulu.
Dan mungkin karena itulah sekarang aku menerima pandangan matamu yang menyakitkan. Mungkin karena itulah sekarang kau pergi meninggalkanku. Mungkin karena itulah sekarang aku sendirian di bawah langit yang luas ini sambil menahan rasa nyeri yang menghampiri dadaku.
Aku tidak pernah tahu tentang dirimu
Aku tidak pernah tahu tentang masa lalumu
Aku tidak pernah tahu penyebab kesedihan yang tersirat di bola matamu.
Dan inilah hukumanku... Untuk terus ditepis dan jauh dari kehidupanmu.
.
.
.
Pintu itu terbuka dan menunjukkan suasana kelas yang sepi dengan hanya segelintir orang di dalamnya.
''Hm? Tumben kau yang menemuiku lebih dulu.''
''Tolong ceritakan padaku semua yang kau ketahui.''
Semuanya...
.
.
.
To Be Continued
''Tidak apa-apa 'kan? Aku tidak mengganggu kok,'' ia menjawab dengan santai.
''Oh ya? Kalau begitu, siapa yang seenaknya mengambil bekal yang kubuat untuk Naruto lalu memakannya tanpa ragu?''
''Hah? Orangnya sendiri tidak keberatan kok.''
''Aku keberatan.''
Hhhh, benar-benar deh. Kenapa sekarang bertambah lagi satu orang yang merepotkan di tempat ini?
Aku mencuri pandang ke arahnya. Setelah acara jalan-jalan kami waktu itu, dia jadi lebih pendiam. Atau, lebih tepat dikatakan dia memendam sesuatu, terlihat dari auranya yang membuat orang ingin menjauh. Tatapan matanya bukan tatapan kosong, melainkan kebencian.
''Hei, dia kenapa sih?'' tanyaku pada si cowo nanas yang ada di sebelahku, tetap sambil melihat punggung yang kesepian itu.
Dia tetap mengunyah makanannya, ''Entahlah. Dia jadi begitu sejak pulang kencan denganmu. Apa yang kau lakukan padanya?''
Aku mengalihkan pandangan padanya, ''Kami tidak kencan kok. Itu hanya jalan-jalan biasa.''
''Iya, iya. Terserahlah mau kau sebut apa. Pokoknya dia jadi begitu setelah pulang.''
Aku tidak mengerti dengan ucapannya. Setelah pulang? Bukankah tidak ada yang salah dengan acara jalan-jalan itu? Apa yang kulakukan sehingga membuatnya seperti itu?
''Terima kasih''
Dua patah kata itu masih terngiang jelas di telingaku, bagaikan gema yang tak pernah berhenti mengulang kata. Setiap nada, setiap intonasinya terekam di otakku dan selalu diputar dengan pasti, bagaikan mp3 yang di replay. Terulang terus, terulang terus. Tak pernah berhenti.
Seharusnya tidak ada yang salah.
''Ah, apa mungkin...'' Aku melihatnya, ''Ah, tidak, tidak mungkin... Tapi bisa saja...'' Gerakannya seperti orang yang berpikir serius.
''Apanya yang mungkin?''
''Tidak, tidak apa-apa.''
Aku sangat, sangat ingin tahu apa yang dimaksudnya. Tapi mungkin lebih baik kalau aku tidak tahu. Dari awal aku memang tidak ingin tenggelam ke dalam dunianya. Tidak mau tenggelam lebih jauh...
Aku bangkit berdiri dan berjalan mendekatinya. Sejak tadi yang dilakukannya hanyalah menatap langit, tapi aku tahu, yang ditatapnya bukanlah langit. Ada hal lain yang lebih jauh dibanding langit yang dilihatnya.
''Hei... Kamu tidak mau makan...?'' Tidak ada jawaban darinya.
''Tidak perlu makan bekal dariku. Roti saja juga tidak apa-apa, kok...'' Dia tetap diam.
Aku memang sudah terbiasa tidak dipedulikan oleh yang lainnya... tapi dia...
''Hei...'' Aku mengulurkan tanganku untuk menyentuhnya, namun yang dilakukannya merupakan reaksi yang paling tidak kuduga dan tidak kuharapkan.
Ia menepis tanganku dengan kasar. Bahkan saat mata kami bertemu, tak satu kata pun yang terucap di sana. Selanjutnya yang bisa kudengar hanyalah suara bantingan pintu dan helaan napas panjang dari cowo nanas.
''Gawat... Ternyata memang benar...''
.
.
.
''Hari ini kamu ikut pergi nggak?''
''Wah, gimana ya...? Aku 'kan udah punya pacar. Mana mungkin aku ikut begituan lagi.''
''Yah, sayang banget. Goukon* kali ini dengan anak-anak SMA K, loh. Rugi deh kalau sampai nggak ikutan.''
''Eh, kok nggak bilang sih? Kalau begitu hari ini aku ikut deh.''
''Kita janjian setelah pulang sekolah. Ingat, ya. Jangan sampai lupa!''
''Iya iya, aku tahu.''
Berisik sekali
Suasana kelas memang berisik. Aku tidak tahan mendengarnya. Tapi saat ini aku tidak bisa pergi ke atap, karena, kalau ke atap aku takut untuk bertemu dengannya. Kalau aku bertemu dengannya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan...
Sudah beberapa hari sejak saat itu, dan aku tidak pernah menemuinya lagi. Mungkin lebih tepat kalau kubilang aku menghindarinya. Tapi pada dasarnya, kami memang tidak akan bertemu kalau bukan aku yang menemuinya. Kelas kami terpisah dan kami memang tidak saling kenal.
Hhhh... Mungkin ini semua adalah hukuman untukku yang tidak tulus mendekatinya...
Kakiku melangkah ke arah atap. Pada akhirnya aku sendiri tidak bisa berada di ruangan itu lebih lama lagi.
Di saat pintu itu terbuka, aku tahu apa yang menungguku disana. Tempat ini sudah bukan tempat milikku pribadi lagi. Tapi, tempat ini juga bukan miliknya.
Aku mengambil langkah demi langkah sampai akhirnya tepat berada di sampingnya, lalu duduk menemaninya.
Hanya butuh beberapa saat sampai mulutku memutuskan untuk terbuka, ''Kenapa...''
Aku terdiam sesaat, bingung apa yang harus kukatakan selanjutnya, ''Kenapa kau kembali seperti dulu?'' Aku tidak bisa melihat ke arahnya. Mengingat aku bukan siapa-siapa baginya, bukan hakku untuk mengatakan hal semacam itu.
''Jangan bercanda,'' aku tak pernah mengharapkan sebuah respon darinya.
''Tahu apa kau tentang aku yang dulu.''
Kata-kata yang diucapkannya tanpa emosi di nada suaranya berlalu dihembus angin, namun tak bisa terlewatkan oleh indra pendengarku.
''Tahu apa kau...''
Aku mengerti.
Aku mengerti bahwa aku tidak pantas untuk membicarakan hal ini.
Aku mengerti bahwa bukan peranku untuk mengatakan hal seperti ini.
Aku tidak tahu dan tidak pernah mau tahu tentangmu, masalahmu, maupun kamu yang dulu.
Dan mungkin karena itulah sekarang aku menerima pandangan matamu yang menyakitkan. Mungkin karena itulah sekarang kau pergi meninggalkanku. Mungkin karena itulah sekarang aku sendirian di bawah langit yang luas ini sambil menahan rasa nyeri yang menghampiri dadaku.
Aku tidak pernah tahu tentang dirimu
Aku tidak pernah tahu tentang masa lalumu
Aku tidak pernah tahu penyebab kesedihan yang tersirat di bola matamu.
Dan inilah hukumanku... Untuk terus ditepis dan jauh dari kehidupanmu.
.
.
.
Pintu itu terbuka dan menunjukkan suasana kelas yang sepi dengan hanya segelintir orang di dalamnya.
''Hm? Tumben kau yang menemuiku lebih dulu.''
''Tolong ceritakan padaku semua yang kau ketahui.''
Semuanya...
.
.
.
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar