Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 November 2013

To Know You part 8


Meski tak melihatnya, aku tahu sejak tadi ia berada disana, memperhatikan aku yang duduk dengan memeluk lututku dan membenamkan wajahku.

Terdengar suara napasnya yang berat. ''Kalian ini menyedihkan,'' katanya sambil sedikit mengacak-acak rambutnya.

''Aku benar-benar tidak mengerti dengan kalian. Waktu itu kau memperhatikannya dan dia mengacuhkanmu, sekarang kau mendapatkan perhatiannya dan kau malah menghindarinya begitu saja. Kemudian kau mengatakan kata-kata kejam padanya dan,'' lagi-lagi dia menghela napas. ''Lihat dirimu sekarang. Kau benar-benar menyedihkan.''

Aku tidak peduli dengan apapun yang dia katakan sekarang, tidak bisa peduli. Aku terlalu sibuk berputar-putar dalam pikiranku sendiri.

''Dan lebih parahnya lagi,'' ia melanjutkan, ''Kenapa aku harus mengurus masalah ini? Aku ini bukan tempat konsultasi.'' Aku yakin dia tidak senang dipanggil kesini hanya untuk menemaniku.

Ia pun duduk di sebelahku. ''Jadi, apa yang mau kau bicarakan?'' Mendengar tidak adanya jawaban dariku, ia langsung kesal lalu berdiri, berniat untuk meninggalkanku. Tapi niat itu tertahan ketika aku menarik ujung bajunya, memberikan permohonan tak terucap untuk tidak pergi. Kurasa ia mengerti karena ia kembali duduk di posisi awal.

Keheningan tetap berlanjut meski bel tanda dimulainya pelajaran telah dibunyikan. Kami tetap berada pada posisi masing-masing. Ia tetap menunggu dengan sabar sampai aku mau bicara. Dan aku, masih dengan satu tangan memegang ujung bajunya, juga masih memeluk lututku. Dapat dipastikan kami bolos pelajaran berikutnya.

''Kalau boleh kutahu...'' Ia membuka percakapan, ''... kenapa kau menghindari Naruto? Termasuk permintaanmu saat hari itu.''

''Cowo nanas, tolong sampaikan padanya... Jangan temui aku lagi...''

Pada akhirnya, pertanyaan itu tidak bisa kuhindari.

''Aku, aku sudah... tidak boleh berada di sampingnya lagi.'' Aku merasakan tatapan aku-tidak-mengerti dari cowo yang ada di sebelahku.

''Kau pernah bilang, aku tidak sama dengan cewe-cewe yang pernah mendekati Naruto, bahwa aku... melihat sisi lain dirinya.''

Ia mengingat-ingat, ''Oh iya. Aku ingat itu.''

''Itu salah.''

''Hah?''

''Itu salah. Aku tak pernah melihat seorang 'Naruto' dalam dirinya. Aku sama dengan semua cewe lain yang pernah mendekati Naruto untuk kepentingan mereka sendiri.'' Aku mengepalkan tanganku lebih erat, ''Untuk kepentinganku sendiri.''

Aku ingat. Hari itu, saat aku mengajaknya pacaran merupakan langkahku untuk menghibur diriku sendiri.

''Aku mengajaknya pacaran hanya karena aku tidak mau sendiri, lagipula kudengar dia tidak akan menolak siapapun. Jadi kupikir, dia orang yang tepat.''

Ketertarikanku dimulai ketika mendengar adanya 'playboy' yang tak tertarik dengan cewe manapun. Semua dia terima namun semua dia acuhkan. Saat melihat matanya, aku tersadar... Dia mirip denganku.

''Melihat kelakuannya yang seperti orang kesepian, aku berpikir seperti melihat diriku di dalamnya. Begitu kotornya diriku saat aku sempat merasa senang ketika berpikir di dunia ini ada yang sama kesepiannya seperti diriku, orang-orang yang keberadaannya diacuhkan oleh yang lain. Orang-orang yang 'tak hidup'. Lifeless.'' Aku menyadari semua tindakanku adalah hina adanya. Semua pemikiranku padanya hanyalah sebuah dosa.

''Karena itu,'' aku melepaskan genggamanku pada bajunya dan melarikan jemariku pada rambutku, dan meremasnya. ''Kejadian hari itu membuatku sadar. Aku tidak boleh melukainya lebih dalam lagi. Dia tidak boleh berada bersamaku. Aku tidak ingin dia mengetahui alasanku bersamanya sehingga ia kembali terluka.''

Aku meremas rambutku semakin kencang. Kalau kuingat lagi, cowo nanas pernah berkata sesuatu seperti 'menariknya dari kegelapan menuju cahaya'. Tapi kalau kupikir-pikir, yang selama ini kulakukan hanya untuk menariknya lebih dalam lagi ke dalam kegelapan bersamaku.

Di atas kami kini langit begitu biru, mempertegas perkataan ramalan cuaca yang yakin hari ini cerah tanpa awan. Entah kenapa, aku merasa awan-awan itu kini berkumpul di hatiku dan membentuk kabut di mataku.

''Kalau kau tak keberatan... Bisa kau ceritakan penyebab 'kesepian'-mu?'' Aku hanya bisa tersenyum pedih.

Aku berhenti meremas rambutku dan meluruskan lututku, membiarkan tubuhku rileks dengan apapun yang akan kuceritakan nanti. Saat kulihat ke atas, yang ada hanyalah langit biru tanpa awan dengan matahari tampil sebagai satu-satunya yang paling mencolok di sana.

''Dulu, aku pernah bahagia... Dulu...''

Aku mencoba mengingat apa yang dulu pernah diberikan oleh hidup kepadaku, sebelum akhirnya diambil kembali. ''Keluargaku termasuk keluarga yang dapat ditemukan dimana saja. Ayahku membangun sebuah usaha kecil-kecilan bersama ibuku yang ternyata cukup berhasil. Di tahun ke tiga pernikahan mereka, ibuku melahirkanku. Kebahagiaan kami bertambah dengan kedatangan adik perempuanku lima tahun kemudian.''

Aku tersenyum kecil mengingat kenangan manis itu. Yang untuk seterusnya hanya akan menjadi kenangan.

''Setelah itu, usaha ayahku pun terus naik, naik dan naik. Hidup kami jauh lebih baik daripada berkecukupan. Kupikir, saat itu, aku bahagia.'' Aku memberi jeda untuk menarik napas, ''Sampai saat itu datang.''

Aku terdiam dan dia terdiam. Tidak akan ada yang bicara kecuali aku.

''Hari itu, mereka berniat untuk mengunjungi makam keluarga yang ada di Kyoto. Aku tidak ikut karena harus mengikuti kegiatan tahunan sekolah. Tak disangka, pesawat yang mereka naiki mengalami kegagalan dalam pendaratan. Dan kecelakaan itu mengambil hampir seluruh nyawa penumpang yang ada di dalamnya.'' Tanganku bergetar begitu mengingat pemandangan yang diberikan layar TV saat kecelakaan tiga tahun yang lalu. Puing-puing kapal yang berserakan, mayat-mayat yang terlantar dimana-mana, semua membuatku mual.

''Hari dimana aku dihadapkan pada tubuh mereka yang sudah tak lagi bernyawa, kupikir rohku juga sudah meninggalkan tubuhku. Kau tahu bagaimana rasanya berdiri sendirian saat upacara pemakaman?'' Tidak ada jawaban yang kudapatkan.

Perasaan sedih karena ditinggal, penyesalan yang terus berlarut, membuatku ingin segera bersama kedua orang tuaku dan adikku walau harus melewati rasa sakit yang sangat. Tapi meski sempat berpikir begitu, aku tak pernah bisa melakukannya. Terlalu takut untuk melakukannya. Pada akhirnya, aku hanyalah seorang pengecut yang tenggelam dalam kesedihannya sendiri.

''Orang tuaku tidak punya kerabat lain sehingga aku terpaksa harus hidup sendiri di usiaku yang masih tergolong anak kecil. Untungnya, mereka meninggalkan seluruh warisannya padaku yang bisa diambil sesuai dengan kebutuhanku.'' Aku bahkan tidak tahu kalau itu masih bisa disebut keberuntungan.

''Seluruh warisan itu bisa kudapatkan asalkan aku telah mencapai usia yang ditentukan. Menyenangkan bukan? Di saat aku berumur 19 tahun, aku akan jadi gadis terkaya yang pernah ada.'' Aku tertawa. Meskipun dada ini nyeri, aku mencoba tertawa. Menertawakan nasib yang mempermainkanku.

''Sekarang aku tinggal di rumah yang besar sendirian. Apapun yang kulakukan, tidak akan ada yang melarangku. Berapapun uang yang kubutuhkan, semua akan mengalir begitu saja. Akulah gadis terkaya di dunia.'' Aku tertawa. Meski dia memandangku dengan tatapan iba, aku tidak peduli. Bukankah aku gadis yang paling beruntung?

Tiba-tiba dia menarik lenganku dan membuatku jatuh ke dalam pelukannya. Aku terkejut, tapi tak melawan. Aku hanya melanjutkan tawaku, ''Hahaha... Lalu, karena terlalu lama bersedih atas kematian keluargaku, aku menarik diri dari teman-temanku. Aku terlalu lama larut dalam kesedihan sampai saat aku tersadar, semua orang telah menjauhiku. Dunia telah berada jauh dari jangkauanku.''

Tanpa kusangka, kesedihan kembali melebur dan keluar dalam bentuk air mata. Kupikir aku sudah kebal dalam penderitaanku, tapi...

''Apa gunanya bisa bebas melakukan semuanya tapi tak tahu apa yang harus kulakukan? Apa gunanya rumah besar yang megah kalau hanya aku sendiri yang menempatinya? Apa gunanya jadi gadis terkaya tapi tak ada yang bisa kuajak untuk berbagi?'' Aku meremas bajunya yang ada di genggamanku.

''Aku cuma mau keluargaku kembali. Aku hanya ingin melihat ayahku yang selalu membaca koran setiap pagi. Aku tidak peduli meski selalu harus bangun pagi atau makan sayur pahit buatan ibuku setiap hari. Aku akan memberikan seluruh barang yang kumiliki bila adikku memintanya, hanya saja...'' Tanpa kusadari tangisanku pecah, ''Kumohon... kembalilah...''

Lengan kanannya memeluk tubuhku, menarikku lebih ke dadanya. Tipikal penghiburan yang biasa diberikan seseorang. Mungkin, memang itu yang kubutuhkan. ''Aku hanya ingin kembali ke masa-masa itu. Hari-hari dimana kami selalu bersama-sama.''

Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri. Menangis dan menangis. Menelan kepahitan bersama air mata yang keluar. Terlalu sibuk bahkan untuk menyadari adanya sosok yang sedari tadi mengawasi kami berdua. Yang bisa kurasakan sekarang hanyalah tangisanku dan helaan napas cowo nanas.

"Inilah alasannya kenapa aku tidak suka perempuan."

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar