Alas
keras yang menempel di punggungku, langit biru yang menjadi atapku, dan
semilir angin yang selalu hadir. Hal-hal itulah yang selalu membuat
tempat ini menjadi pelarianku. Kupikir, cukup dengan adanya tiga hal itu
dapat membuatku hidup.
Aku tak menyangka akan datangnya hari ini, dimana aku menutup mataku dengan lenganku hingga birunya langit berubah menjadi hitam. Dimana kerasnya lantai tidak lagi bisa kurasakan. Hari dimana sekeras apapun angin bertiup, ia tak bisa sampai di hatiku.
Gelap.
Sakit.
Hanya itu yang bisa kurasakan.
''Setelah mendengar masa lalunya, apa yang akan kau lakukan?''
Pertanyaan itu terdengar jelas di telingaku, dan tersampaikan tepat pada otakku. Namun otakku tak bisa mengolah pertanyaan itu dan memaksa sel-sel di dalamnya untuk menemukan sebuah jawaban, bahkan untuk yang ngasal sekalipun, hingga akhirnya pertanyaan itu pergi dibawa angin.
''Aku yakin kalau dia sudah bertemu Sakura. Sengaja atau tidak, aku tak tahu. Tapi begitulah yang diceritakan temanku.''
Informasi itu hanya membuat sebuah cerita yang sudah terputar di otakku kembali berputar lagi. Cerita yang dulunya tak pernah ingin kudengar, namun pada akhirnya aku yang meminta untuk diceritakan.
Bukan cerita tentang sang putri yang menemukan pangerannya setelah melewati banyak cobaan, maupun kisah takdir cinta mengenaskan seperti yang dimiliki Romeo and Juliet yang ditentang oleh keluarga meski saling mencintai, hingga hanya maut yang dapat menyatukan mereka berdua.
Hanya sebuah kisah sederhana mengenai beberapa anak remaja yang terperangkap dalam jebakan kehidupan yang bernama cinta. Kisah yang menyebabkan rasa sakit di dada setiap kali aku mengingatnya.
''Aku...'' suaraku hanya bisa dikeluarkan sebatas berbisik. ''Aku tidak memahaminya.''
Dibandingkan dengan berbicara kepada orang yang ada di sebelahku, lebih tepat kalau kata-kata itu kutujukan pada diriku sendiri.
''Meskipun aku telah mendengar cerita itu darimu, meskipun aku menangis setelahnya, meskipun aku telah memikirkan bila aku yang berada di posisinya, aku... tetap tidak memahaminya...''
Biasanya aku selalu merasa rileks dan ringan bila berada di sini, seolah-olah tiupan angin membuatku lebih tenang dengan kesejukan yang dibawanya. Tapi sekarang aku hanya bisa bilang kalau tenagaku seolah-olah diterbangkan oleh angin hingga untuk menggerakkan satu tangan saja rasanya tidak kuat.
''Dia benar. Aku tidak tahu apapun mengenai dirinya yang dulu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah tahu.''
Tidak tahu, tidak mengerti dan tidak memahami
Tidak akan pernah...
Aku bisa merasakan kalau ia menghela napas. ''Bukan hanya kau. Aku atau siapapun tidak akan bisa tahu tentang perasaan seseorang. Yang bisa memahami perasaan seseorang hanya orang itu sendiri.''
Hanya orang itu sendiri...
Aku tidak bisa menanggapi kalimat itu.
Beberapa kali aku telah menemukannya. Hidup, tak hidup. Lifeless. Mungkin hanya kata itu yang tepat untuk menggambarkan keadaan mentalnya. Tidak seorangpun yang mengerti apa yang dialaminya, hanya dia sendiri.
Karena hal itulah kini ia menanggung beban itu sendiri, karena itulah ia merasakan sakit seorang diri. Karena tak pernah akan ada yang mengerti perasaannya. Karena tak pernah akan ada orang yang mengerti bebannya.
''Bagaimana caranya... agar mengerti beban orang lain?''
Dia terdiam sejenak, ''Entahlah. Tapi yang jelas, bukankah hal itu merepotkan? Daripada mengerti, kenapa kau tidak membuang beban itu?''
Masuk akal. Tapi, ''Kalau kita tidak mengerti, kita tidak bisa membuang beban itu, karena dia tidak mengizinkannya...''
Aku mendengar helaan napasnya yang berat, ''Ukh, berbicara mengenai hal seperti ini membuatku bosan. Terlalu berat.''
Aku juga merasakan hal yang sama. Terlalu berat. Terlalu berat untuk dipikirkan, terlalu berat untuk dirasakan. Terlalu berat untuk ditanggung sendirian.
''Dimana aku bisa menemukannya?''
Aku menggeser tanganku dari mataku agar setidaknya aku bisa melihat wajah bingungnya. ''Mungkin di...''
Kakiku terasa berat, tubuhku tak bertenaga. Tidak ada keinginan di hatiku untuk menemuinya. Namun aku tahu, sebanyak apapun aku mengucapkan hal itu pada diriku, pada akhirnya aku akan tetap melangkah ke tempatnya.
.
.
.
Rumput yang bergoyang, dedaunan yang terbang, sayup-sayup suara angin yang mengiringi langkah mereka. Tempat yang didominasi warna hijau. Aku tak pernah tahu kalau sekolah ini memiliki tempat yang menentramkan hati selain di atap.
Bersender di bawah pohon. Hidup, tak hidup. Kebiasaannya yang tidak biasa. Kebiasaan yang menyedihkan. Kenapa ia tak mau melakukan hal lain selain memandang jauh. Aku yakin, sampai sekarang, baik pikiran maupun pandangannya, tetap terarah pada satu orang.
''Pengecut.'' Aku mengatakan hal yang ingin kukatakan padanya sejak dulu. ''Kau hanya takut menghadapinya. Kau takut untuk merasakan lagi.''
Meski aku sama sekali tidak mengatakan hal apa yang kubicarakan, kami sama-sama mengerti apa yang kumaksud.
''Kau tahu? Dengan menjadi seperti ini, kau menyakiti semua cewe yang pernah datang kepadamu. Kau memberikan sakit pada mereka. Kau curang.'' Ia tidak melihat mataku, bahkan ke arahku.
Mata yang berwarna biru itu semakin hari semakin gelap. Bukan lagi biru laut, hanya kegelapan. Kemurungan dan kebencian.
''Biarpun aku mengetahui masa lalumu, aku tetap tidak mengerti dirimu. Yang kutahu, kau hanya takut untuk berhubungan dengan seseorang karena kau takut tersakiti lagi.''
Aku...
''Kau hanyalah seorang pengecut yang selalu lari dari masalah. Kau tidak mau bertemu lagi dengan teman-temanmu karena kau tidak ingin mengingat masa lalumu. Karena kau tidak ingin menghadapi rasa sakit itu.''
Aku tidak pernah ingin menanyakan masa lalunya ataupun mengungkitnya
''Kau bertindak seolah-olah kau yang terluka, tapi yang kau lakukan hanyalah menimbulkan luka lain pada orang-orang di sekitarmu.''
Aku tidak pernah mau mencari apa yang salah pada dirinya dan berpikir untuk seterusnya, seperti ini pun sudah cukup
''Kau tahu betapa cemasnya cowo nanas saat ia melihatmu seperti ini? Kau tahu perasaan semua teman-temanmu yang kau abaikan?''
Karena, kupikir...
''Aku tidak tahu masa lalumu. Aku tidak mengerti rasa sakitmu. Aku tidak peduli dengan apapun yang kau lakukan.''
Kalau aku menanyakannya...
''Hanya saja...''
Aku takut...
''Jangan menjadi seperti ini...''
...hubunganku dengannya yang bagaikan benang tipis ini akan terputus
Aku duduk bersimpuh tidak jauh darinya sambil berusaha mengenyahkan air mata yang tidak mau berhenti keluar dari mataku. Semua yang kurasakan, semua yang ingin kukatakan, sudah kulemparkan padanya meski tak tahu apa yang akan dilakukannya.
Perlahan, ia beranjak dari tempatnya. Mendekatiku dan duduk di depanku. Di sela-sela tangisanku, aku masih bisa merasakan kehadirannya yang begitu dekat.
Hal terakhir yang bisa kurasakan adalah rasa panas saat bibirnya menyentuh tulang selangkaku, kemudian naik ke leherku. Dan rasa sakit yang menusuk di kulitku yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Termasuk hatiku.
.
.
.
To Be Continued
Aku tak menyangka akan datangnya hari ini, dimana aku menutup mataku dengan lenganku hingga birunya langit berubah menjadi hitam. Dimana kerasnya lantai tidak lagi bisa kurasakan. Hari dimana sekeras apapun angin bertiup, ia tak bisa sampai di hatiku.
Gelap.
Sakit.
Hanya itu yang bisa kurasakan.
''Setelah mendengar masa lalunya, apa yang akan kau lakukan?''
Pertanyaan itu terdengar jelas di telingaku, dan tersampaikan tepat pada otakku. Namun otakku tak bisa mengolah pertanyaan itu dan memaksa sel-sel di dalamnya untuk menemukan sebuah jawaban, bahkan untuk yang ngasal sekalipun, hingga akhirnya pertanyaan itu pergi dibawa angin.
''Aku yakin kalau dia sudah bertemu Sakura. Sengaja atau tidak, aku tak tahu. Tapi begitulah yang diceritakan temanku.''
Informasi itu hanya membuat sebuah cerita yang sudah terputar di otakku kembali berputar lagi. Cerita yang dulunya tak pernah ingin kudengar, namun pada akhirnya aku yang meminta untuk diceritakan.
Bukan cerita tentang sang putri yang menemukan pangerannya setelah melewati banyak cobaan, maupun kisah takdir cinta mengenaskan seperti yang dimiliki Romeo and Juliet yang ditentang oleh keluarga meski saling mencintai, hingga hanya maut yang dapat menyatukan mereka berdua.
Hanya sebuah kisah sederhana mengenai beberapa anak remaja yang terperangkap dalam jebakan kehidupan yang bernama cinta. Kisah yang menyebabkan rasa sakit di dada setiap kali aku mengingatnya.
''Aku...'' suaraku hanya bisa dikeluarkan sebatas berbisik. ''Aku tidak memahaminya.''
Dibandingkan dengan berbicara kepada orang yang ada di sebelahku, lebih tepat kalau kata-kata itu kutujukan pada diriku sendiri.
''Meskipun aku telah mendengar cerita itu darimu, meskipun aku menangis setelahnya, meskipun aku telah memikirkan bila aku yang berada di posisinya, aku... tetap tidak memahaminya...''
Biasanya aku selalu merasa rileks dan ringan bila berada di sini, seolah-olah tiupan angin membuatku lebih tenang dengan kesejukan yang dibawanya. Tapi sekarang aku hanya bisa bilang kalau tenagaku seolah-olah diterbangkan oleh angin hingga untuk menggerakkan satu tangan saja rasanya tidak kuat.
''Dia benar. Aku tidak tahu apapun mengenai dirinya yang dulu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah tahu.''
Tidak tahu, tidak mengerti dan tidak memahami
Tidak akan pernah...
Aku bisa merasakan kalau ia menghela napas. ''Bukan hanya kau. Aku atau siapapun tidak akan bisa tahu tentang perasaan seseorang. Yang bisa memahami perasaan seseorang hanya orang itu sendiri.''
Hanya orang itu sendiri...
Aku tidak bisa menanggapi kalimat itu.
Beberapa kali aku telah menemukannya. Hidup, tak hidup. Lifeless. Mungkin hanya kata itu yang tepat untuk menggambarkan keadaan mentalnya. Tidak seorangpun yang mengerti apa yang dialaminya, hanya dia sendiri.
Karena hal itulah kini ia menanggung beban itu sendiri, karena itulah ia merasakan sakit seorang diri. Karena tak pernah akan ada yang mengerti perasaannya. Karena tak pernah akan ada orang yang mengerti bebannya.
''Bagaimana caranya... agar mengerti beban orang lain?''
Dia terdiam sejenak, ''Entahlah. Tapi yang jelas, bukankah hal itu merepotkan? Daripada mengerti, kenapa kau tidak membuang beban itu?''
Masuk akal. Tapi, ''Kalau kita tidak mengerti, kita tidak bisa membuang beban itu, karena dia tidak mengizinkannya...''
Aku mendengar helaan napasnya yang berat, ''Ukh, berbicara mengenai hal seperti ini membuatku bosan. Terlalu berat.''
Aku juga merasakan hal yang sama. Terlalu berat. Terlalu berat untuk dipikirkan, terlalu berat untuk dirasakan. Terlalu berat untuk ditanggung sendirian.
''Dimana aku bisa menemukannya?''
Aku menggeser tanganku dari mataku agar setidaknya aku bisa melihat wajah bingungnya. ''Mungkin di...''
Kakiku terasa berat, tubuhku tak bertenaga. Tidak ada keinginan di hatiku untuk menemuinya. Namun aku tahu, sebanyak apapun aku mengucapkan hal itu pada diriku, pada akhirnya aku akan tetap melangkah ke tempatnya.
.
.
.
Rumput yang bergoyang, dedaunan yang terbang, sayup-sayup suara angin yang mengiringi langkah mereka. Tempat yang didominasi warna hijau. Aku tak pernah tahu kalau sekolah ini memiliki tempat yang menentramkan hati selain di atap.
Bersender di bawah pohon. Hidup, tak hidup. Kebiasaannya yang tidak biasa. Kebiasaan yang menyedihkan. Kenapa ia tak mau melakukan hal lain selain memandang jauh. Aku yakin, sampai sekarang, baik pikiran maupun pandangannya, tetap terarah pada satu orang.
''Pengecut.'' Aku mengatakan hal yang ingin kukatakan padanya sejak dulu. ''Kau hanya takut menghadapinya. Kau takut untuk merasakan lagi.''
Meski aku sama sekali tidak mengatakan hal apa yang kubicarakan, kami sama-sama mengerti apa yang kumaksud.
''Kau tahu? Dengan menjadi seperti ini, kau menyakiti semua cewe yang pernah datang kepadamu. Kau memberikan sakit pada mereka. Kau curang.'' Ia tidak melihat mataku, bahkan ke arahku.
Mata yang berwarna biru itu semakin hari semakin gelap. Bukan lagi biru laut, hanya kegelapan. Kemurungan dan kebencian.
''Biarpun aku mengetahui masa lalumu, aku tetap tidak mengerti dirimu. Yang kutahu, kau hanya takut untuk berhubungan dengan seseorang karena kau takut tersakiti lagi.''
Aku...
''Kau hanyalah seorang pengecut yang selalu lari dari masalah. Kau tidak mau bertemu lagi dengan teman-temanmu karena kau tidak ingin mengingat masa lalumu. Karena kau tidak ingin menghadapi rasa sakit itu.''
Aku tidak pernah ingin menanyakan masa lalunya ataupun mengungkitnya
''Kau bertindak seolah-olah kau yang terluka, tapi yang kau lakukan hanyalah menimbulkan luka lain pada orang-orang di sekitarmu.''
Aku tidak pernah mau mencari apa yang salah pada dirinya dan berpikir untuk seterusnya, seperti ini pun sudah cukup
''Kau tahu betapa cemasnya cowo nanas saat ia melihatmu seperti ini? Kau tahu perasaan semua teman-temanmu yang kau abaikan?''
Karena, kupikir...
''Aku tidak tahu masa lalumu. Aku tidak mengerti rasa sakitmu. Aku tidak peduli dengan apapun yang kau lakukan.''
Kalau aku menanyakannya...
''Hanya saja...''
Aku takut...
''Jangan menjadi seperti ini...''
...hubunganku dengannya yang bagaikan benang tipis ini akan terputus
Aku duduk bersimpuh tidak jauh darinya sambil berusaha mengenyahkan air mata yang tidak mau berhenti keluar dari mataku. Semua yang kurasakan, semua yang ingin kukatakan, sudah kulemparkan padanya meski tak tahu apa yang akan dilakukannya.
Perlahan, ia beranjak dari tempatnya. Mendekatiku dan duduk di depanku. Di sela-sela tangisanku, aku masih bisa merasakan kehadirannya yang begitu dekat.
Hal terakhir yang bisa kurasakan adalah rasa panas saat bibirnya menyentuh tulang selangkaku, kemudian naik ke leherku. Dan rasa sakit yang menusuk di kulitku yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Termasuk hatiku.
.
.
.
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar